Rio Adhitya Cesart

Kita Berbagi Masalah Kita Berbagi Solusi

Sudah Saatnya Kita Kembali Bersahabat dengan Alam

            Pertengahan Desember 2014, tepatnya tanggal 11 Desember 2014 masyarakat yang bermukim di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS Serayu) khususnya di daerah Wonosobo, Banjarnegara dan Purbalingga dikejutkan dengan banjir bandang dan longsor yang terjadi akibat peningkatan curah hujan akhir-akhir ini. Bulan Desember dan Januari memang sudah diprediksi sebagai puncak musim hujan. Akan tetapi peristiwa yang terjadi 11 Desember 2014 ini cukup mengagetkan banyak pihak karena cukup banyak titik yang terkena longsor dan banjir, apalagi ditambah desas desus di dunia maya bahwa Bendungan Mrican jebol, meski setelah ditelusuri ternyata yang terjadi hanya semua pintu air dibuka. Kondisi fisik bendungan masih aman, tidak seperti isu yang sempat berhembus.
kondisi pintu air Bendungan Mrican
saat Banjir
             "Hari ini, wilayah di sekitar Banjarnegara terjadi hujan deras. Terjadi longsor di 67 titik. Dampaknya, 54 rumah rusak. Jalan nasional Wonosobo - Banjarnegara tertutup longsor sehingga tidak dapat dilalui kendaraan," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Ia melanjutkan, hujan telah pula membuat empat jalan kabupaten tidak dapat dilalui karena terkena material longsor. Begitu juga jalan provinsi di Kecamatan Karangkobar, masih tertimbun material. Itulah kondisi yang terjadi seperti dikutip dari laman tribunnews jateng. Masih banyak area terdampak lainnya seperti longsor di berbagai wilayah di Wonosobo dan banjir kiriman sungai Serayu di Purbalingga. Debit air Sungai Serayu yang meningkat drastis menyebabkan pihak pengelola Bendungan Mrican membuka semua pintu air untuk mengurangi tekanan dan ketinggian air pada bendungan. Pembukaan seluruh pintu air ini menyebabkan seluruh air langsung dialirkan tanpa sempat ditahan sehingga daerah aliran sungai Serayu selanjutnya mengalami banjir bandang.
            Kondisi ini menyebabkan saya teringat lagi dengan pertanyaan yang sempat dilontarkan guru Geografi ketika saya masih kelas X SMA 1 Bukateja yaitu pertanyaan dari Drs. Wahyudi kenapa di Pulau Jawa sudah tidak ada transportasi sungai seperti di Sumatera dan Kalimantan? Jawabannya karena aliran sungai di Jawa sudah tidak stabil / konsisten, saat musim kemarau air di sungai menjadi sangat sedikit sehingga tidak mungkin dilalui kapal / perahu, namun saat di musim hujan air di sungai menjadi sangat banyak sehingga menimbulkan banjir. Idealnya perbedaan kondisi sungai saat musim kemarau dan musim hujan tidak terlalu mencolok. Kenyataannya perbedaan yang terjadi cukup mencolok. Penyebab utama yang sebenarnya sudah disadari oleh berbagai pihak tapi masih tetap dilanggar yaitu adanya alih fungsi lahan. Lahan di daerah hulu / gunung yang semula berupa hutan (berisi pepohonan besar), sekarang sudah banyak beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan perkebunan maupun berubah menjadi pemukiman, perumahan atau malah menjadi kawasan industri. Tanah yang semula tercengkram dengan erat oleh akar pepohonan besar, sekarang justru hanya diikat oleh tanaman kecil dengan akar serabut, bahkan sekarang yang ada berupa pondasi rumah, sedangkan pondasi rumah yang terikat ke tanah, bukan tanah yang terikat ke pondasi rumah. Tanah yang sudah tidak terikat kuat menyebabkan kontur tanah menjadi labil sehingga bisa menyebabkan tanah longsor / tanah bergerak terutama di daerah pegunungan. Penyebab banjir juga serupa, akar tanaman besar berupa akar tunggang mampu menngikat air dalam jumlah besar, namun akar serabut dari komoditas pertanian hanya mampu mengikat sedikit air sehingga air hujan banyak yang langsung mengalir tanpa sempat ditahan oleh tumbuhan dan jika sudah tidak mampu ditampung oleh sungai maka menyebabkan banjir.
            Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi kerusakan lahan di DAS Serayu, termasuk anak sungainya seperti Sungai Klawing, Sungai Gintung dan Sungai Pekacangan. Daerah di kaki Gunung Slamet mulai berubah menjadi ladang pertanian dan kebun strawbery, sedangkan lahan di sekitar Dataran Tinggi Dieng sejak lama sudah sejak lama menjadi sentra Kentang. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya lahan hijau yang berubah menjadi pemukiman, perumahan maupun villa / hotel yang tidak mampu menahan air maupun tanah. Kondisi  serupa disampaikan anggota Dewan Sumber Daya Air Jawa Tengah Eddy Wahono yang dikutip dari laman antaranews.com bahwa salah satu penyebab tingginya volume air yang masuk ke DAS Serayu adalah kerusakan daerah hulu terutama di Dataran Tinggi Dieng. Menurut dia, hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian sehingga tidak ada lahan untuk penyerapan ketika intensitas hujan di daerah hulu Sungai Serayu tinggi. "Akibatnya, air hujan langsung masuk ke DAS Serayu," katanya.
            Musibah yang saat ini terjadi di DAS Serayu, baik berupa banjir maupun longsor seyogyanya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa segala sesuatu juga harus berorientasi dengan alam. Apalah arti keuntungan besar namun nantinya akan banyak anggaran yang harus dikeluarkan karena terjadi banjir dan longsor. Jika dulu Ebit G Ade pernah menciptakan lagu yang liriknya “alam mulai enggan bersahabat dengan kita”, namun kenyataan yang terjadi adalah manusia yang enggan bersahabat dengan alam karena aktivitas kita justru sebagian besar merusak alam. Bencana yang muncul adalah timbal balik dari apa yang sudah kita lakukan sehingga bila kita bersahabat dengan alam maka alam akan memberi yang terbaik untuk kita, namun ketika kita tidak bersahabat dengan alam maka yang muncul adalah bencana alam. Ingat, banjir dan longsor ada bencana alam yang dapat dicegah dengan perilaku baik manusia yang mau menjaga dan melestarikan alam. Perbaiki lagi kondisi daerah hulu yang saat ini telah mengalami kerusakan hebat karena beralihfungsi, juga daerah sekitas sungai juga harus diperbaiki. Semoga bencana besar seperti kejadian tanggal 11 Desember 2014 ini tidak terjadi lagi di Indonesia umumnya dan Karesidenan Banyumas khususnya. Semoga semua pihak yang menjadi korban tetap tabah dan pemerintah beserta Tim SAR harus bergerak cepat untuk mencari korban yang belum ditemukan dan memperbaiki akses jalan penghubung yang sempat terputus. Sudah Saatnya Kita Kembali Bersahabat dengan Alam.

Opini dari Rio Adhitya Cesart

Beberapa tulisan bersumber dari:
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Sudah Saatnya Kita Kembali Bersahabat dengan Alam"