Rio Adhitya Cesart

Kita Berbagi Masalah Kita Berbagi Solusi

Nilai Merah Pertelevisian Indonesia

            Tahun 2014 sudah berganti menjadi tahun 2015, banyak catatan yang sudah ditorehkan oleh berbagai stasiun televisi di indonesia, baik yang bersiaran lokal maupun nasional, swasta atau milik pemerintah, maupun terestrial atau digital. Banyak hal positif yang sudah diperoleh dari masing-masing stasiun televisi selama tahun 2014, demikian pula dengan hasil negatif dari masing-masing pihak juga banyak. Bahkan bisa dikatakan 2014 sebagai tahun kemunduran stasiun tv khususnya swasta nasional di Indonesia karena banyaknya noda yang mereka peroleh selama setahun terakhir.
            Awal kekisruhan di pertelevisian Indonesia diawali dari Pemilu Legislatif 2014, karena sebagian besar stasiun televisi dikuasai orang partai politik (parpol) seperti RCTI, MNCTV, Global TV milik Hary Tanoesoedibjo; tv0ne dan antv dipimpin oleh Aburizal Bakrie; serta Metro TV dikuasai oleh Surya Paloh. Kesemuanya berasal dari parpol yang berbeda. Selain stasiun televisi, beberapa media cetak juga dikuasai oleh para politikus. Media massa yang seharusnya menjadi sarana edukasi dan hiburan bagi masyarakat justru berubah menjadi corong partai. Masyarakat yang seharusnya berhak mendapat tayangan berkualitas, justru setiap hari harus dijejali oleh berbagai debat, saling tuding, fitnah, serta konflik kepentingan dari partai-partai yang terlibat dalam pemilu, khususnya partai yang menguasai stasiun televisi tersebut.
            Kondisi ini semakin menggila setelah berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres), semakin jelas pertentangan dari kedua belah kubu capres-cawapres. Masyarakat sudah dapat menilai mana stasiun televisi yang Pro capres-cawapres A dan mana yang Pro dengan capres-cawapres B. Hasil quick qount yang berbeda, drama tuntutan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi, serta bumbu-bumbu penyedap pembawa acara stasiun televisi dari kedua belah pihak memperjelas perbedaan yang tajam dari masing-masing pihak dengan memanfaatkan dunia jurnalistik. Bahkan setelah Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik, konflik antar pihak yang disajikan dalam berita utama masing-masing pihak selalu gencar diberikan kepada masyarakat. Saat ini konflik yang sangat jelas terlihat adalah konflik antara pihak Aburizal Bakrie dengan pihak Surya Paloh. Hubungan kedua belah pihak saat ini sangat tidak akur, padahal keduanya sempat berada dalam naungan partai politik yang sama, namun konflik keduanya tidak kunjung padam. Pihak Surya Paloh melalui Metro TV selalu gencar masalah penuntasan kasus Lumpur Lapindo yang belum diselesaikan oleh pihak PT Minarak Lapindo Brantas. Pihak Aburizal Bakrie melalui group viva (tv0ne, antv & vivanews) membalas serangan tersebut dengan mempermasalahkan kebijakan impor minyak yang dilakukan Jokowi karena pihak yang memperkenalkan Jokowi dengan pihak Sonangol sebagai eksportir minyak dari Somalia adalah Surya Paloh. Diduga ada permainan yang dilakukan oleh Surya Paloh untuk memuluskan usahanya dibidang minyak dan gas (migas). Bisa dikatakan dua stasiun televisi Indonesia yang berbasis berita khususnya hard news sangat tidak bisa diharapkan karena kuatnya pengaruh orang parpol dalam kepemilikan & pengambilan keputusan stasiun televisi tersebut.
            Selain permasalahan yang berbau politik, masih ada noktah merah yang ditimbulkan oleh stasiun televisi seperti penyalahgunaan siaran. Televisi dijadikan sarana publikasi acara besar yang dilakukan oleh selebritas dengan durasi waktu yang diluar nalar. Contoh nyata yaitu prosesi lamaran, nikahan, bulan madu dan ngunduh mantu Raffi Ahmad yang selalu disiarkan oleh stasiun tv dengan durasi waktu yang sangat lama, bahkan ada yang sampai 12 jam menyiarkan aktivitas dari Raffi Ahmad. Sebuah acara pribadi yang tidak bermanfaat bagi masyarakat justru di ekspose secara berlebihan sehingga terkesan sang artis pamer harta karena acara pernikahannya yang sangat mewah disiarkan secara langsung di televisi. Contoh lain penyalahgunaan siaran televisi adalah prosesi persalinan Asyanti. Alasan yang digunakan pihak Anang – Asyanti terkait siaran langsung prosesi persalinan Asyanti bertujuan untuk edukasi semata, untuk menjelaskan kepada masyarakat bagaimana proses persalinan yang baik. Akan tetapi tayangan tersebut justru melanggar berbagai norma yang berlaku di masyarakat, baik itu norma kesopanan maupun kesusilaan. Jika ingin memberikan edukasi kepada masyarakat tidak perlu hingga mempertontonkan proses kelahiran secara live, masih banyak metode penyampaian yang bisa dilakukan tanpa melanggar norma-norma yang ada.
            Acara yang dibuat oleh Rumah Produksi Film / Production House (PH) juga tidak jauh berbeda, sama-sama mendapatkan tinta merah karena berbagai permasalahan yang mendera sinetron di Indonesia. Sinetron Indonesia sempat menjadi buah bibir karena kasus plagiat salah satu sinetron dari film korea. Sebenarnya jika ditelusuri banyak sinetron Indonesia yang menjiplak film luar negeri, akan tetapi kasus yang menimpa sinetron Kau yang Berasal dari Bintang menjadi cukup heboh karena 95% alur cerita yang digunakan identik dengan salah satu film korea serta belum mendapat ijin dari pihak terkait. Sinetron Ganteng – Ganteng Serigala juga tersandung kasus penjiplakan film Twilligt. Meski saat ini alur cerita sinetron tersebut sudah berbeda dari film Twilligt namun masih banyak penilaian negatif terkait sinetron ini karena banyaknya adegan kekerasan serta adegan percintaan yang cenderung lebay dan kebablasan. Sayangnya meski sinetron ini mendapat banyak penilaian negatif namun PH lain justru ikut mengekor dengan membuat sinetron bergenre serupa seperti Manusia Harimau, 7 Manusia Harimau serta sinetron baru di tahun 2015 yang tayang di MNCTV berjudul Vampire. Pihak PH seakan menutup mata dengan kondisi yang ada, mereka hanya memikirkan ratting tanpa pernah terpikir apakah sinetron yang mereka buat memberi dampak negatif atau tidak.
            Jika diulas secara lebih mendetail akan banyak acara yang akan dicap negatif karena banyaknya kasus yang menerpa acara-acara tersebut. Acara yang sudah dijelaskan di atas kiranya cukup menggambarkan bagaimana kondisi dunia pertelevisian Indonesia saat ini. Semoga berbagai pihak dalam jajaran direksi stasiun televisi mau berbenah memperbaiki kualitas siarannya, tidak hanya mengejar ratting semata karena mereka harus sadar bahwa frekuensi siaran yang mereka gunakan adalah milik seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya milik golongan tertentu sehingga tayangan yang disajikan harus bermanfaat bagi masyarakat. Pihak stasiun televisi seharusnya berkewajiban memberikan tayangan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sisi edukasi yang disajikan tidak harus seperti siaran pendidikan mata pelajaran siswa sekolah dasar hingga menengah, masih banyak jenis tayangan edukasi yang bisa dikembangkan oleh pihak stasiun televisi untuk menghasilkan tayangan yang berkualitas, serta bermanfaat bagi masyarakat.

Purbalingga, 5 Januari 2015
Opini dari Rio Adhitya Cesart
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Nilai Merah Pertelevisian Indonesia"