Rio Adhitya Cesart

Kita Berbagi Masalah Kita Berbagi Solusi

Perlunya Kerjasama Mengatasi Permasalahan Pakan Ruminansia

Pakan yaitu segala sesuatu yang dapat dimakan oleh hewan/ternak yang mengandung gizi dan atau energi yang tercerna sebagian atau seluruhnya dengan tanpa mengganggu kesehatan hewan/ternak yang bersangkutan. Pakan merupakan faktor utama dalam keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan tatalaksana. Meski merupakan komponen utama dalam usaha peternakan, kenyataannya masih banyak permasalahan terkait dengan penyediaan pakan.
Biaya produksi dalam usaha peternakan sebagian besar digunakan untuk pemenuhan pakan sehingga peternak rakyat dengan modal kecil seringkali hanya memberi pakan seadanya. Bahan pakan terutama untuk pakan unggas masih harus impor sehingga menyebabkan harga menjadi mahal. Pakan ruminansia seharusnya memiliki kondisi yang lebih baik mengingat pakan ruminansia sebagian besar tidak harus bersaing dengan pangan, serta potensi pakan yang ada di Indonesia juga cukup beranekaragam. Kenyataannya pakan konvensional maupun potensi pakan lokal yang ada untuk ruminansia belum dioptimalkan penggunaannya sehingga hasil yang diperoleh masih jauh dari harapan. Pembahasan kali ini akan difokuskan mengenai permasalahan seputar pakan ruminansia terutama di wilayah Kabupaten Purbalingga..
Bergantung Terhadap Alam
Berbicara mengenai pakan ruminansia, masyarakat umumnya akan menyatakan bahwa pakan ternak ruminansia berupa rumput hasil ngarit. Kenyataan ini tidak bisa kita salahkan mengingat ilmu yang peternak terima secara turun temurun yaitu setiap pagi mereka pergi ngarit untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Kondisi ini menunjukkan bahwa peternak sangat bergantung dengan alam sehingga bisa dipastikan ketika musim kemarau peternak akan sangat kesulitan dalam mencari pakan.
Kondisi yang ada pada musim kemarau kali ini sangat mencengangkan, seperti peternak sapi potong dari Desa Jatisaba Kecamatan Purbalingga saat musim kemarau ini mencari rumput hingga Desa Cipaku Kecamatan Mrebet Purbalingga yang berjarak puluhan kilometer. Kondisi serupa juga dialami peternak Kambing Kejobong di Desa Langgar Kecamatan Kejobong Purbalingga yang harus mencari rumput hingga Desa Kembangan Kecamatan Bukateja Purbalingga. Apabila terus bergantung dengan alam, kondisi ini dapat semakin buruk mengingat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau dapat berlangsung hingga akhir tahun 2015 sebagai dampak terjadinya El Nino.
Pola Pikir
Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa hijauan pakan yang digunakan oleh sebagian besar peternak berupa rumput akibat pola pikir yang sudah tertanam secara turun temurun. Peternak akan terus berupaya mencari rumput hingga mendapatkannya meski harus menempuh jarak yang teramat jauh. Perguruan tinggi seharusnya dapat merubah pola pikir peternak yang terus bergantung terhadap alam dalam penyediaan pakan. Agar penyediaan pakan tidak terlalu bergantung terhadap alam, perlu adanya pakan yang tahan lama dengan mutu baik yang diperoleh melalui pengoolahan pakan. Cara yang paling baik dalam membudayakan kebiasaan ini adalah melalui pembinaan, bukan hanya sekedar pelatihan agar peternak menjadi terbiasa dengan pola yang baru.
Kelompok Tani Ternak (KTT) Jatimulyo di Desa Jatisaba Kecamatan Purbalingga dapat dijadikan sebagai contoh. Beberapa tahun yang lalu sempat diadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Jatisaba dan peternak dilatih untuk membuat pupuk dan pakan fermentasi. Kondisi yang ada saat ini tidak ada peternak yang melanjutkan dalam pembuatan pupuk dan pakan fermentasi. Sebagian besar peternak tidak melanjutkan pembuatan pakan fermentasi dengan alasan ternak tidak doyan mengkonsumsi pakan fermentasi serta tidak adanya bahan seperti damen karena damen hanya ada saat panen padi. Kegiatan pelatihan yang hanya dilakukan sekali dan tanpa adanya kegiatan lanjutan maupun evaluasi menyebabkan peternak kembali menggunakan kebiasaan lama dalam memberikan pakan ternak. Sudah selayaknya Perguruan Tinggi memberikan pembinaan yang berkelanjutan sebagai bukti konkrit pengabdian kepada masyarakat, bukan sebagai menara gading yang ilmunya sulit diimplementasikan di masyarakat.
Pakan Alternatif
Selain penerapan teknologi pengolahan pakan konvensional, penggunaan pakan alternatif (non konvensional) dapat dijadikan solusi mengatasi masalah pakan ruminansia. Pakan alternatif itu dapat berupa hasil sisa serta hasil samping dari tanaman pangan, holtikultura, perkebunan serta industri pengolahannya sebagai bahan pakan lokal. Bahan non konvensional tersebut harus memenuhi berbagai aspek agar dapat digunakan sebagai bahan pakan yang berkualitas baik. Aspek yang harus diperhatikan seperti ketersediaan, kandungan nutrisi, faktor pembatas, karakteristik fisik, usaha peningkatan mutu, serta harus dilakukan pengujian terhadap ternak untuk mengetahui performans yang dihasilkan.
Potensi pakan lokal cukup banyak, sebagai contoh di Purbalingga terdapat singkong dan tebu dengan jumlah yang sangat melimpah. Bagian dari tanaman singkong yang digunakan sebagai pakan yaitu pada bagian daun, umbi, maupun kulit umbi. Produk yang tertinggal setelah singkong diambil patinya yaitu berupa onggok pada industri pengolahan tapioka juga dapat digunakan sebagai alternatif pakan terutama saat musim kemarau mengingat singkong tidak mengenal musim dan relatif lebih tahan dalam kondisi air yang sedikit. Meski keberadaan singkong melimpah, di Purbalingga tidak terlalu banyak peternak yang memanfaatkan onggok sebagai pakan. Pekerja di pabrik pengolahan tapioka “55” Desa Timbang Kecamatan Kejobong Purbalingga menjelaskan bahwa onggok yang dihasilkan setelah proses pengeringan akan dikirim ke Bandung sebagai pakan sapi, sedangkan peternak setempat jarang yang membeli onggok.
Tebu juga cukup potensial dijadikan pakan alternatif oleh peternak di Purbalingga mengingat banyak lahan perkebunan tebu di Purbalingga, bahkan berdasarkan data dari Buku Statistik Peternakan 2014 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah produksi daun tebu di Purbalingga tahun 2013 sebanyak 4.212.072 ton / tahun merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Bagian dari tebu yang dapat digunakan sebagai pakan yaitu pucuk tebu, ampas tebu yang mengandung empulur (pith, yaitu jaringan parenchym yang lunak), serta tetes tebu. Meski demikian tebu belum dimanfaatkan sebagai pakan oleh peternak mengingat tidak adanya Pabrik Gula di Eks Karesidenan Banyumas khususnya Purbalingga, sehingga saat panen batang tebu yang telah ditebang langsung diangkut ke dalam truk dan dikirimkan ke luar kota tanpa sempat diolah di Purbalingga. Kondisi ini menjadi sedikit lebih baik karena Pemerintah Kabupaten Purbalingga sedang mengupayakan berdirinya Pabrik Gula di Purbalingga sehingga tebu dapat langsung diolah dan hasil sampingannya dapat dimanfaatkan oleh peternak sebagai pakan.
Langkah seperti pengolahan pakan serta penggunaan pakan lokal non konvensional sebenarnya sudah sering dibahas di perkuliahan, namun kenyataannya hanya sedikit yang mampu di aplikasikan di lapangan meski sudah dilakukan pelatihan. Peternak yang masih malas mengaplikasikan pola yang baru, kebijakan yang ada dari pemerintahan belum menyentuh peternak kecil maupun kegiatan dari Perguruan Tinggi yang tidak berkelanjutan seringkali dijumpai dan menjadi penghambat perkembangan pakan ruminansia. Permasalah pakan dapat diatasi apabila terjadi kerjasama yang baik antar berbagai pihak, seperti peternak maupun kelompok ternak itu sendiri, pemerintah melalui dinas terkait selaku pemangku kebijakan serta Perguruan Tinggi sebagai penyedia wawasan baru bagi peternak. Apabila permasalahan pakan tersebut dapat diatasi akan memberikan timbal balik positif bagi semua pihak terutama peternak, terlebih jika diikuti bibit dan manajemen yang baik pula.

Oleh: Rio Adhitya Cesart *)

*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Peternakan Unsoed angkatan 2013.
Share this article :
+
Previous
Next Post »
1 Komentar untuk "Perlunya Kerjasama Mengatasi Permasalahan Pakan Ruminansia"
This comment has been removed by a blog administrator. - Hapus