Rio Adhitya Cesart

Kita Berbagi Masalah Kita Berbagi Solusi

Antara Mahasiswa dan Unjuk Rasa



Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change atau agen perubahan. Maksud perubahan disini ialah dengan bekal landasan teoritis dan praktek yang diperoleh di bangku perkuliahan akan mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Mahasiswa juga dapat dikatakan orang yang bebas, dalam artian ketika masih sebagai siswa sekolah menengah kehidupan mereka masih dominan diatur oleh orang tuanya, namun saat memasuki dunia perkuliahan terutama bagi mereka yang merantau ataupun ngekos (tidak tinggal lagi bersama orang tua), mereka akan bebas mengatur kehidupannya sendiri. Orang tua hanya memantau dari jarak jauh. Orang tua hanya bisa transfer uang untuk kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari – hari anaknya, menanyakan kabar lewat handphone atau berbagai media sosial sembari memanjatkan doa kepada Illahi agar anaknya diberikan yang terbaik. Namun tetap saja, kehidupan seorang mahasiswa di lingkungan kos maupun kampus diatur oleh dirinya sendiri.
Kehidupannya yang bebas, sudah memiliki landasan ilmu teoritis dan praktek, ditambah dengan faktor usia dimana masih banyak yang sedang dalam tahapan mencari jati diri, faktor – faktor tersebut mungkin menyebabkan mahasiswa menjadi kritis. Salah satu sikap kritis mahasiswa yang sudah banyak diketahui yaitu dengan mengadakan acara demo atau unjuk rasa. Memang itu adalah hak mahasiswa untuk kebebasan bersuara dan berpendapat. Meskipun demikian seringkali muncul pertanyaan oleh berbagai pihak, termasuk juga oleh penulis yang notabene adalah sesama mahasiswa. Penulis akan membahas unjuk rasa dari sudut pandang yang lain, karena tidak menarik juga jika 100% mahasiswa setuju menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa, jika semua sama maka tidak terjadi suatu diskusi. Pertanyaan pertama dan paling utama dari unjuk rasa mahasiswa adalah apa motivasi dari mahasiswa tersebut melakukan unjuk rasa? Seringkali dalam unjuk rasa, para mahasiswa menonjolkan atribut dari organisasi masing – masing, sebagai contoh HMI, PMII dan lain – lainnya sehingga terkadang banyak yang bertanya apakah tujuan mereka unjuk rasa adalah membela kepentingan rakyat atau hanya sebatas menonjolkan organisasi masing – masing, tidak ada kesatuan dalam satu universitas. Seringkali juga, banyak mahasiswa yang melakukan unjuk rasa hanya sekedar ikut – ikutan, mengikuti euforia yang ada, agar terlihat keren dan sebagainya. “Mahasiswa kurang afdol kalo belum pernah demo”, mungkin demikianlah pola pikir dari sebagian oknum mahasiswa yang melakukan demo. Penulis mengatakan sebagian oknum mahasiswa yang melakukan demo karena penulis percaya masih banyak yang melakukan demo demi kepentingan rakyat, bukan hanya sekedar ikut – ikutan dan menonjolkan organisasi masing – masing.
Selanjutnya yaitu teknis pelaksanaan unjuk rasa, seringkali banyak pihak yang menanyakan apakah memang harus seorang mahasiswa yang intelektual melakukan aksi unjuk rasa, berjalan sambil melakukan orasi, terkadang hingga melakukan blokade jalan dan melakukan pembakaran ban. Memang tidak salah juga mahasiswa melakukan seperti itu karena unjuk rasa yang dilakukan pihak lain juga serupa. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah tidak ada cara lain, apakah harus sama dengan unjuk rasa yang dilakukan pihak selain mahasiswa, mengingat mereka telah dilabeli “maha” siswa sehingga seharusnya ada perubahan pola pikir menjadi lebih maju, bukan melakukan unjuk rasa konvensional. Hingga di titik ini penulis pribadi masih belum dapat merumuskan aksi unjuk rasa yang baik, berbeda dari unjuk rasa konvensional itu seperti apa. Aksi unjuk rasa seperti sudah memiliki pakem harus dilakukan oleh orang banyak sambil berjalan melakukan orasi membawa spanduk. Apabila tidak demikian maka bukan unjuk rasa namanya.
Pertanyaan yang mungkin adalah pertanyaan final atau penutup yaitu efektif dan berhasilkah unjuk rasa yang selama ini dilakukan? Pertanyaan ini menjadi penting untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan unjuk rasa, apakah hanya sebatas sampai pada tahapan penyampaian aspirasi atau hingga tahap aspirasi tersebut tersalurkan. Aspirasi tersalurkan dalam artian terjadi perubahan sesuai dengan tujuan awal pelaksanaan unjuk rasa. Seringkali kegiatan unjuk rasa hanya berupa orasi di jalan, entah siapa yang mendengarkan, entah siapa yang menjadi sasaran unjuk rasa sehingga terkesan para mahasiswa yang melakukan unjuk rasa, dan mereka sendiri yang mendengarkan sehingga hanya sebatas penyampaian aspirasi, dan aspirasi tersebut nyatanya tidak tersalurkan. Hingga saat ini penulis masih kesulitan mencari contoh unjuk rasa yang kemudian berhasil mewujudkan poin – poin tuntutan dalam unjuk rasa tersebut, mulai dari tingkat intern kampus hingga tingkatan nasional.
Dalam tingkatan nasional, mahasiswa seringkali berbangga karena mereka mampu menciptakan perubahan pada bangsa Indonesia dengan berhasil meruntuhkan orde lama oleh angkatan 65, serta menggulingkan orde baru oleh angkatan 98 melalui berbagai aksi unjuk rasa yang getol mereka lakukan. Namun benarkah demikian, karena penulis memiliki pandangan penyebab peralihan kekuasaan tersebut akibat adanya perpecahan di tubuh ABRI, dimana muncul Jenderal ataupun perwira yang membelot pada pemerintahan. Soeharto yang membelot pada Soekarno ditambah terjadi peristiwa G30S/PKI sehingga orde lama tumbang, banyak jenderal yang membelot pada Soeharto sekitar tahun 1997 ditambah krisis moneter yang melanda Indonesia menyebabkan orde baru runtuh sehingga penulis memiliki pandangan, kebanggaan mahasiswa pada dua kejadian tersebut melalui jalan unjuk rasa adalah semu belaka. Sebagai contoh era 70-80’an mahasiswa juga getol melakukan unjuk rasa untuk menurunkan Soeharto, namun ABRI sedang solid sehingga setiap aksi yang dilakukan mahasiswa begitu mudah dilumpuhkan. Demikian pula pada era reformasi, saat ABRI sudah dibagi menjadi TNI dan POLRI, saat kedua institusi ini sudah tidak terlalu represif macam era Soeharto nyatanya sedikit sekali unjuk rasa yang berhasil membawa perubahan atau aspirasi mereka telah tersalurkan. Mahasiswa demo menurunkan Megawati karena dianggap menjual berbagai aset negara, nyatanya Megawati tetap bertahan hingga akhir masa jabatannya. Mahasiswa demo menurunkan Yudhoyono karena dianggap kinerja dari Yudhoyono lambat sehingga disimbolkan dengan kerbau, nyatanya Yudhoyono mampu menyelesaikan jabatannya hingga dua kali periode. Mahasiswa demo menurunkan Jokowi karena dianggap sebagai antek asing, mereka selalu melakukan demo terutama menggunakan berbagai hari peringatan nasional, namun nyatanya hingga saat ini Jokowi masih menjabat sebagai Presiden. Serta berbagai tuntutan lain seperti UKT yang nyatanya hingga saat ini sebagian besar belum terjadi sehingga penulis mengatakan keberhasilan unjuk rasa hanya semu belaka. Kenaikan UKT hanya dihentikan sejenak agar mahasiswa menjadi tenang, namun tiba – tiba terjadi kenaikan UKT ditambah adanya uang pangkal pada mahasiswa jalur mandiri, dengan demikian unjuk rasa tersebut dapat dikatakan gagal menyalurkan aspirasinya karena tidak terjadi perubahan ke arah positif. Contoh di Unsoed ada gerakan #savesoedirman yang berjalan terkait UKT, setelah mereka melakukan aksi dan pihak rektorat menghentikan kenaikan, aktivitas dari #savesoedirman menjadi sepi kembali dan mereka saat ini baru terkejut dengan adanya uang pangkal, saat ini baru mahasiswa dari berbagai fakultas rajin kembali mengadakan pertemuan terkait UKT setelah rekorat mengelurakan keputusan final.
Penulis bukannya anti dengan unjuk rasa karena jika anti berarti 100% tidak setuju. Namun penulis kurang sejalan dengan kenyataan penyampaian aspirasi yang ada saat ini. Para mahasiswa cenderung terlalu mengandalkan aksi unjuk rasa, sedangkan setelah pelaksanaan unjuk rasa langsung bubar dalam artian entah apa yang dicapai, aspirasi tersebut disalurkan ke siapa, dan langkah ke depan yang hendak ditempuh seperti apa? Penulis sempat memperhatikan evaluasi pasca unjuk rasa, yang dibahas hanya sebatas teknis pelaksanaan unjuk rasa tersebut, bukan tiga pertanyaan yang tadi penulis sudah sebutkan. Selain itu masih jarangnya dilakukan audiensi ataupun diskusi dengan pihak terkait sehingga tidak ada komunikasi dua arah dari pihak – pihak yang berselisih paham. Mahasiswa sebaiknya mengedepankan diskusi dengan pihak terkait, serang pemikiran yang salah dari pihak yang sedang dikritisi dengan berbagai argumen yang kuat berlandaskan aturan dan bukti yang ada. Adanya diskusi ini menyebabkan komunikasi menjadi mengalir, berbeda dengan pelaksanaan unjuk rasa, saat demonstran memaksa pihak yang dikritisi keluar gedung untuk menemui mereka. Perwakilan pihak yang dikritisi tersebut hanya sekedar menemui, mengeluarkan sedikit argumennya, atau mungkin malah hanya berkata “iya nanti akan kami kaji kembali” agar acara unjuk rasa cepat berakhir sehingga komunikasi menjadi tidak mengalir. Saat pihak yang dikritisi tidak mau diajak diskusi bagaimana, kita kejar terus agar mau melakukan diskusi empat mata.
Dunia semakin terbuka dengan arus informasi yang semakin cepat, saat pihak yang dikritisi tidak mau diajak diskusi dapat langsung kita sebarkan di website atau berbagai media sosial yang dimiliki. Sebagai contoh “kami perwakilan dari BEM Universitas xxx telah mencoba melakukan diskusi dengan pihak rektorat terkait penarikan uang pangkal pada hari Senin, 13 Juni 2016. Namun upaya kami untuk melakukan diskusi ini dihalang-halangi oleh pihak rektorat, kami langsung diusir oleh security rektorat sehingga kami tidak dapat masuk, ...........”. Informasi tersebut langsung saja disebarkan ke website dan media sosial yang dimiliki sehingga memberi kesan mahasiswa mengedepankan intelektalitasnya melalui diskusi, disisi lain juga memberi tekanan pada pihak yang dikritisi sehingga menjadi stigma negatif karena tidak berani diajak diskusi oleh mahasiswa. Lambat laun pihak yang dikritisi akan mau melakukan diskusi untuk membersihkan citra mereka. Selain berupaya melakukan diskusi, mahasiswa juga sebenarnya dapat mengkaji suatu keputusan yang salah melalui jalur hukum. Universitas di Indonesia sebagian besar memiliki fakultas hukum, di dalamnya mahasiswa belajar mengenai berbagai aturan hukum, sistem peradilan, melakukan peradilan semu dan sebagainya, alangkah lebih baiknya ilmu tersebut juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari dari tingkatan yang dasar terlebih dahulu, hingga akhirnya ketika mahasiswa sudah melakukan diskusi dengan pihak yang dikritisi, namun mereka tetap mengeluarkan kebijakan yang merugikan maka dengan bukti dan landasan hukum yang cukup, dapat kita adukan melalui jalur peradilan.
Jika penulis membahas mengenai unjuk rasa maka tidak ada habisnya. Sekali lagi penulis nyatakan bahwa penulis tidak anti dengan unjuk rasa. Unjuk rasa tetap diperlukan sebagai pendobrak, namun sebagai kaum intelektual mahasiswa hendaknya juga mengedepankan diskusi agar tujuan yang sebenarnya dapat tercapai dan mencerminkan intelektualitas yang dimiliki oleh mahasiswa.
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Antara Mahasiswa dan Unjuk Rasa"