Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change atau agen perubahan.
Maksud perubahan disini ialah dengan bekal landasan teoritis dan praktek yang
diperoleh di bangku perkuliahan akan mampu membawa perubahan yang lebih baik
bagi masyarakat. Mahasiswa juga dapat dikatakan orang yang bebas, dalam artian
ketika masih sebagai siswa sekolah menengah kehidupan mereka masih dominan
diatur oleh orang tuanya, namun saat memasuki dunia perkuliahan terutama bagi
mereka yang merantau ataupun ngekos
(tidak tinggal lagi bersama orang tua), mereka akan bebas mengatur kehidupannya
sendiri. Orang tua hanya memantau dari jarak jauh. Orang tua hanya bisa
transfer uang untuk kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari – hari anaknya,
menanyakan kabar lewat handphone atau
berbagai media sosial sembari memanjatkan doa kepada Illahi agar anaknya
diberikan yang terbaik. Namun tetap saja, kehidupan seorang mahasiswa di
lingkungan kos maupun kampus diatur oleh dirinya sendiri.
Kehidupannya yang bebas, sudah memiliki landasan
ilmu teoritis dan praktek, ditambah dengan faktor usia dimana masih banyak yang
sedang dalam tahapan mencari jati diri, faktor – faktor tersebut mungkin
menyebabkan mahasiswa menjadi kritis. Salah satu sikap kritis mahasiswa yang
sudah banyak diketahui yaitu dengan mengadakan acara demo atau unjuk rasa.
Memang itu adalah hak mahasiswa untuk kebebasan bersuara dan berpendapat. Meskipun
demikian seringkali muncul pertanyaan oleh berbagai pihak, termasuk juga oleh
penulis yang notabene adalah sesama mahasiswa. Penulis akan membahas unjuk rasa
dari sudut pandang yang lain, karena tidak menarik juga jika 100% mahasiswa
setuju menyalurkan aspirasi melalui unjuk rasa, jika semua sama maka tidak
terjadi suatu diskusi. Pertanyaan pertama dan paling utama dari unjuk rasa
mahasiswa adalah apa motivasi dari mahasiswa tersebut melakukan unjuk rasa?
Seringkali dalam unjuk rasa, para mahasiswa menonjolkan atribut dari organisasi
masing – masing, sebagai contoh HMI, PMII dan lain – lainnya sehingga terkadang
banyak yang bertanya apakah tujuan mereka unjuk rasa adalah membela kepentingan
rakyat atau hanya sebatas menonjolkan organisasi masing – masing, tidak ada
kesatuan dalam satu universitas. Seringkali juga, banyak mahasiswa yang
melakukan unjuk rasa hanya sekedar ikut – ikutan, mengikuti euforia yang ada, agar terlihat keren
dan sebagainya. “Mahasiswa kurang afdol kalo belum pernah demo”, mungkin
demikianlah pola pikir dari sebagian oknum mahasiswa yang melakukan demo.
Penulis mengatakan sebagian oknum mahasiswa yang melakukan demo karena penulis
percaya masih banyak yang melakukan demo demi kepentingan rakyat, bukan hanya
sekedar ikut – ikutan dan menonjolkan organisasi masing – masing.
Selanjutnya yaitu teknis pelaksanaan unjuk rasa,
seringkali banyak pihak yang menanyakan apakah memang harus seorang mahasiswa
yang intelektual melakukan aksi unjuk rasa, berjalan sambil melakukan orasi,
terkadang hingga melakukan blokade jalan dan melakukan pembakaran ban. Memang
tidak salah juga mahasiswa melakukan seperti itu karena unjuk rasa yang
dilakukan pihak lain juga serupa. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah
tidak ada cara lain, apakah harus sama dengan unjuk rasa yang dilakukan pihak
selain mahasiswa, mengingat mereka telah dilabeli “maha” siswa sehingga
seharusnya ada perubahan pola pikir menjadi lebih maju, bukan melakukan unjuk
rasa konvensional. Hingga di titik ini penulis pribadi masih belum dapat
merumuskan aksi unjuk rasa yang baik, berbeda dari unjuk rasa konvensional itu
seperti apa. Aksi unjuk rasa seperti sudah memiliki pakem harus dilakukan oleh
orang banyak sambil berjalan melakukan orasi membawa spanduk. Apabila tidak
demikian maka bukan unjuk rasa namanya.
Pertanyaan yang mungkin adalah pertanyaan final atau
penutup yaitu efektif dan berhasilkah unjuk rasa yang selama ini dilakukan?
Pertanyaan ini menjadi penting untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan unjuk
rasa, apakah hanya sebatas sampai pada tahapan penyampaian aspirasi atau hingga
tahap aspirasi tersebut tersalurkan. Aspirasi tersalurkan dalam artian terjadi
perubahan sesuai dengan tujuan awal pelaksanaan unjuk rasa. Seringkali kegiatan
unjuk rasa hanya berupa orasi di jalan, entah siapa yang mendengarkan, entah
siapa yang menjadi sasaran unjuk rasa sehingga terkesan para mahasiswa yang
melakukan unjuk rasa, dan mereka sendiri yang mendengarkan sehingga hanya
sebatas penyampaian aspirasi, dan aspirasi tersebut nyatanya tidak tersalurkan.
Hingga saat ini penulis masih kesulitan mencari contoh unjuk rasa yang kemudian
berhasil mewujudkan poin – poin tuntutan dalam unjuk rasa tersebut, mulai dari
tingkat intern kampus hingga tingkatan nasional.
Dalam tingkatan nasional, mahasiswa seringkali
berbangga karena mereka mampu menciptakan perubahan pada bangsa Indonesia
dengan berhasil meruntuhkan orde lama oleh angkatan 65, serta menggulingkan
orde baru oleh angkatan 98 melalui berbagai aksi unjuk rasa yang getol mereka
lakukan. Namun benarkah demikian, karena penulis memiliki pandangan penyebab
peralihan kekuasaan tersebut akibat adanya perpecahan di tubuh ABRI, dimana
muncul Jenderal ataupun perwira yang membelot pada pemerintahan. Soeharto yang
membelot pada Soekarno ditambah terjadi peristiwa G30S/PKI sehingga orde lama
tumbang, banyak jenderal yang membelot pada Soeharto sekitar tahun 1997 ditambah
krisis moneter yang melanda Indonesia menyebabkan orde baru runtuh sehingga
penulis memiliki pandangan, kebanggaan mahasiswa pada dua kejadian tersebut
melalui jalan unjuk rasa adalah semu belaka. Sebagai contoh era 70-80’an
mahasiswa juga getol melakukan unjuk rasa untuk menurunkan Soeharto, namun ABRI
sedang solid sehingga setiap aksi yang dilakukan mahasiswa begitu mudah
dilumpuhkan. Demikian pula pada era reformasi, saat ABRI sudah dibagi menjadi
TNI dan POLRI, saat kedua institusi ini sudah tidak terlalu represif macam era
Soeharto nyatanya sedikit sekali unjuk rasa yang berhasil membawa perubahan
atau aspirasi mereka telah tersalurkan. Mahasiswa demo menurunkan Megawati
karena dianggap menjual berbagai aset negara, nyatanya Megawati tetap bertahan
hingga akhir masa jabatannya. Mahasiswa demo menurunkan Yudhoyono karena
dianggap kinerja dari Yudhoyono lambat sehingga disimbolkan dengan kerbau,
nyatanya Yudhoyono mampu menyelesaikan jabatannya hingga dua kali periode.
Mahasiswa demo menurunkan Jokowi karena dianggap sebagai antek asing, mereka
selalu melakukan demo terutama menggunakan berbagai hari peringatan nasional,
namun nyatanya hingga saat ini Jokowi masih menjabat sebagai Presiden. Serta
berbagai tuntutan lain seperti UKT yang nyatanya hingga saat ini sebagian besar
belum terjadi sehingga penulis mengatakan keberhasilan unjuk rasa hanya semu
belaka. Kenaikan UKT hanya dihentikan sejenak agar mahasiswa menjadi tenang,
namun tiba – tiba terjadi kenaikan UKT ditambah adanya uang pangkal pada mahasiswa
jalur mandiri, dengan demikian unjuk rasa tersebut dapat dikatakan gagal
menyalurkan aspirasinya karena tidak terjadi perubahan ke arah positif. Contoh
di Unsoed ada gerakan #savesoedirman yang berjalan terkait UKT, setelah mereka
melakukan aksi dan pihak rektorat menghentikan kenaikan, aktivitas dari
#savesoedirman menjadi sepi kembali dan mereka saat ini baru terkejut dengan
adanya uang pangkal, saat ini baru mahasiswa dari berbagai fakultas rajin
kembali mengadakan pertemuan terkait UKT setelah rekorat mengelurakan keputusan
final.
Penulis bukannya anti dengan unjuk rasa karena jika
anti berarti 100% tidak setuju. Namun penulis kurang sejalan dengan kenyataan
penyampaian aspirasi yang ada saat ini. Para mahasiswa cenderung terlalu
mengandalkan aksi unjuk rasa, sedangkan setelah pelaksanaan unjuk rasa langsung
bubar dalam artian entah apa yang dicapai, aspirasi tersebut disalurkan ke
siapa, dan langkah ke depan yang hendak ditempuh seperti apa? Penulis sempat
memperhatikan evaluasi pasca unjuk rasa, yang dibahas hanya sebatas teknis
pelaksanaan unjuk rasa tersebut, bukan tiga pertanyaan yang tadi penulis sudah
sebutkan. Selain itu masih jarangnya dilakukan audiensi ataupun diskusi dengan
pihak terkait sehingga tidak ada komunikasi dua arah dari pihak – pihak yang
berselisih paham. Mahasiswa sebaiknya mengedepankan diskusi dengan pihak
terkait, serang pemikiran yang salah dari pihak yang sedang dikritisi dengan
berbagai argumen yang kuat berlandaskan aturan dan bukti yang ada. Adanya
diskusi ini menyebabkan komunikasi menjadi mengalir, berbeda dengan pelaksanaan
unjuk rasa, saat demonstran memaksa pihak yang dikritisi keluar gedung untuk
menemui mereka. Perwakilan pihak yang dikritisi tersebut hanya sekedar menemui,
mengeluarkan sedikit argumennya, atau mungkin malah hanya berkata “iya nanti
akan kami kaji kembali” agar acara unjuk rasa cepat berakhir sehingga
komunikasi menjadi tidak mengalir. Saat pihak yang dikritisi tidak mau diajak
diskusi bagaimana, kita kejar terus agar mau melakukan diskusi empat mata.
Dunia semakin terbuka dengan arus informasi yang
semakin cepat, saat pihak yang dikritisi tidak mau diajak diskusi dapat
langsung kita sebarkan di website
atau berbagai media sosial yang dimiliki. Sebagai contoh “kami perwakilan dari
BEM Universitas xxx telah mencoba melakukan diskusi dengan pihak rektorat
terkait penarikan uang pangkal pada hari Senin, 13 Juni 2016. Namun upaya kami
untuk melakukan diskusi ini dihalang-halangi oleh pihak rektorat, kami langsung
diusir oleh security rektorat
sehingga kami tidak dapat masuk, ...........”. Informasi tersebut langsung saja
disebarkan ke website dan media
sosial yang dimiliki sehingga memberi kesan mahasiswa mengedepankan
intelektalitasnya melalui diskusi, disisi lain juga memberi tekanan pada pihak
yang dikritisi sehingga menjadi stigma negatif karena tidak berani diajak
diskusi oleh mahasiswa. Lambat laun pihak yang dikritisi akan mau melakukan
diskusi untuk membersihkan citra mereka. Selain berupaya melakukan diskusi,
mahasiswa juga sebenarnya dapat mengkaji suatu keputusan yang salah melalui
jalur hukum. Universitas di Indonesia sebagian besar memiliki fakultas hukum,
di dalamnya mahasiswa belajar mengenai berbagai aturan hukum, sistem peradilan,
melakukan peradilan semu dan sebagainya, alangkah lebih baiknya ilmu tersebut
juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari dari tingkatan yang dasar
terlebih dahulu, hingga akhirnya ketika mahasiswa sudah melakukan diskusi
dengan pihak yang dikritisi, namun mereka tetap mengeluarkan kebijakan yang
merugikan maka dengan bukti dan landasan hukum yang cukup, dapat kita adukan
melalui jalur peradilan.
Jika penulis membahas mengenai unjuk rasa maka tidak ada habisnya. Sekali lagi penulis nyatakan bahwa penulis tidak anti dengan unjuk rasa. Unjuk rasa tetap diperlukan sebagai pendobrak, namun sebagai kaum intelektual mahasiswa hendaknya juga mengedepankan diskusi agar tujuan yang sebenarnya dapat tercapai dan mencerminkan intelektualitas yang dimiliki oleh mahasiswa.
Jika penulis membahas mengenai unjuk rasa maka tidak ada habisnya. Sekali lagi penulis nyatakan bahwa penulis tidak anti dengan unjuk rasa. Unjuk rasa tetap diperlukan sebagai pendobrak, namun sebagai kaum intelektual mahasiswa hendaknya juga mengedepankan diskusi agar tujuan yang sebenarnya dapat tercapai dan mencerminkan intelektualitas yang dimiliki oleh mahasiswa.
0 Komentar untuk "Antara Mahasiswa dan Unjuk Rasa"