Rio Adhitya Cesart

Kita Berbagi Masalah Kita Berbagi Solusi

Penyuluhan

CIRI DAN PRINSIP BELAJAR UNTUK
MENUNJANG PENDIDIKAN ORANG DEWASA




NAMA          : RIO ADHITYA CESART
NIM              :D1E013170
KELAS        : B



UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PURWOKERTO
2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper akhir ini dengan judul “Ciri dan Prinsip Belajar untuk Menunjang Pendidikan Orang Dewasa”. Paper akhir ini di susun dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Penyuluhan.
Dalam menyusun paper akhir ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak.Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan paper akhir ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun paper akhir ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya paper akhir ini. Penulis berharap semoga paper akhir ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya


Purwokerto, 05 Juni 2016

                                                                                            Penulis



DAFTAR ISI


Kata Pengantar .........................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................
  I.            Pendahuluan ....................................................................................
1.1 Latar Belakang .........................................................................
1.2 Tujuan ......................................................................................
II.            Metode Penyuluhan ........................................................................
III.            Dinamika Kelompok .....................................................................
IV.            Pendidikan Orang Dewasa ............................................................
V.            Ciri dan Prinsip Belajar ..................................................................
VI.            Faktor - Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Efektifitas Belajar
Kesimpulan dan Saran ..............................................................................
Daftar Pustaka ..........................................................................................
i
ii
1
1
3
4
16
27
39

51
59
60



I. PENDAHULUAN

1. 1.          Latar Belakang

Penyuluhan merupakan proses pembelajaran berupa pendidikan nonformal yang ditujukan kepada masyarakat yang memiliki peran penting dalam pencapaian tujuan pembangunan. Suatu kelompok masyarakat di pedesaan terkadang jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang berada di sekitar perkotaan. Ketertinggalan ini berupa tertinggal secara ekonomi, infratruktur, penguasaan teknologi dan lain lain. Oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan yang baik untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan. Meski demikian kegiatan penyuluhan bukan perkara yang mudah, akan banyak sekali rintangan dan hambatan yang dijumpai saat melakukan penyuluhan di suatu desa. Oleh karena itu sebagai seorang penyuluh perlu untuk memilih metode penyuluhan yang tepat agar materi penyuluhan yang disampaikan dapat diterima oleh masyarakat dan dapat kedepannya dapat diaplikasikan oleh masyarakat secara mandiri.
Suatu kelompok masyarakat bersifat dinamis, meskipun mereka jauh dari perkotaan. Kedinamisan kelompok masyarakat desa disebabkan dalam suatu kelompok terdiri dari berbagai macam orang dengan jenis kelamin, umur, pekerjaan, maupun sifat yang berbeda – beda. Selain itu terdapat aturan maupun sanksi yang tercipta dalam kelompok masyarakat tersebut yang bersifat lisan dan tertulis. Oleh karena itu sebagai seorang penyuluh perlu memperhatikan berbagai aspek tersebut agar dalam kelompok tersebut terjadi suatu dinamisasi yang bersifat positif dan membangun, bukan dinamisasi yang negatif dan mengarah pada perpecahan kelompok masyarakat tersebut.
Setelah mengetahui metode pembelajaran dan dinamika kelompok, seorang penyuluh perlu memperhatikan aspek pendidikan orang dewasa. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat pendidikan untuk orang dewasa berbeda dengan pendidikan untuk anak – anak dan remaja. Perbedaan tersebut terletak pada kemampuan daya tangkap yang sudah mulai menurun karena faktor usia, serta dikarenakan orang dewasa telah melalui berbagai hal dalam hidupnya yang menjadi pengalaman untuk mengatasi masalah sehingga seringkali sulit untuk merubah mind set orang dewasa dalam penyuluhan. Oleh karena itu sebagai seorang penyuluh harus memperhatikan pendidikan orang dewasa secara cermat agar materi yang disampaikan mudah dipahami dan perlahan masyarakat meninggalkan kebiasaan lama menuju kebiasaan baru yang lebih baik dengan tetap memperhatikan norma – norma yang ada.
Pendidikan orang dewasa masih bersifat umum, yaitu masih berupa upaya pendekatan untuk merubah pola pikir. Oleh karena itu pendidikan orang dewasa tersebut perlu dispesifikasikan menjadi ciri dan prinsip belajar. Spesifikasi ini bertujuan agar kegiatan penyuluhan berupa transfer ilmu ini dapat terarah sesuai dengan ciri dan prinsip belajar masyarakat. Hasil dari kegiatan belajar yang terarah sesuai dengan ciri dan prinsip belajar akan lebih baik dibandingkan kegiatan belajar yang tidak terarah.
Faktor psikologi adalah faktor yang berhubungan dengan kejiwaan obyek.
 Hal ini terutama adalah motivasi apa yang mendasari seseorang untuk belajar. Semakin besar semangat untuk belajar maka semakin bear hasil yang didapat, begitu pula sebaliknya, semakin terpaksa maka semakin sulit untuk belajar. Faktor psikologis dari masing – masing orang tentunya akan berbeda. Oleh karena itu selain kegiatan penyuluhan dengan mengumpulkan beberapa orang dalam satu tempat, seorang penyuluh juga perlu melakukan anjangsana untuk mengakomodir faktor psikologis serta kebutuhan dari masing – masing anggota masyarakat yang tentunya berbeda – beda.

1. 2.          Tujuan

a.       Mengkaji prinsip - prinsip metode penyuluhan yang baik.
b.      Mengkaji berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika suatu kelompok.
c.       Mengkaji mengenai Pendidikan Orang Dewasa yang memiliki hambatan psikologis dan perilaku yang menghambat.
d.      Mengkaji ciri – ciri dan prinsip belajar.
e.       Mengkaji tentang faktor psikologis yang mempengaruhi efektifitas belajar.

II. METODE PENYULUHAN

Penyuluhan merupakan proses pembelajaran (pendidikan nonformal) yang ditujukan untuk petani dan keluarganya yang memiliki peran penting di dalam pencapaian tujuan pembangunan (Hubeis, 2007). Suprapto (2009) juga menyatakan bahwa penyuluhan merupakan aktivitas komunikasi yang mengelola informasi dengan tujuan untuk perubahan sikap. Karena tujuannya adalah perubahan sikap, maka pemilihan dan penggunaan medianya adalah yang mampu mengubah perilaku khalayak. Metode penyuluhan merupakan hal yang harus diperhatikan oleh setiap penyuluh sehingga perlu memahami prinsip – prinsip metode penyuluhan. Metode atau cara menurut Maulana (2009) bergantung pada aspek atau tujuan apa yang akan dicapai, apakah aspek pengertian, sikap atau keterampilan. Jika tujuan untuk mengembangkan sifat positif, sasaran perlu menyajikan kejadian tersebut, baik melihat langsung, melalui film, slide, ataupun foto. Ibrahim (2003) menjelaskan bahwa ada dua metode penyuluhan yaitu: 1) teknik komunikasi antara penyuluh dan sasaran, 2) cara – cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi tersebut dapat dimengerti dan diterima sasaran. Agar tujuan penyuluhan tercapai, penyuluh hendaknya memahami prinsip – prinsip metode penyuluhan sebagai berikut:
1.      Pengembangan untuk berfikir kreatif
Kreatif menurut Saifuddin (2014) adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru maupun kombinasi dengan hal – hal yang sudah ada maupun yang belum pernah ada. Penyuluhan yang baik tidak menimbulkan ketergantungan agar setelah program penyuluhan berakhir, sasaran dapat mandiri mengaplikasikan dan mengembangkan materi yang telah disajikan saat penyuluhan secara kreatif demi meningkatkan hasil yang dicapai. Penjelasan tersebut didukung oleh Siswanto (2012) bahwa penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mendorong semakin terciptanya kreatifitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan – kegiatan guna tercapainya tujuan masyarakat sasarannya. Setiawan (2012) menambahkan bahwa penyuluh kreatif adalah penyuluh yang dengan kemandirian, kecerdasan, talenta dan imajinasinya melihat, memikirkan dan mengerjakan hal yang tidak dilihat, tidak dipikirkan dan tidak dikerjakan oleh penyuluh pada umumnya. Penyuluh kreatif tidak dikendalikan oleh materi, metode, teknik dan alat bantu penyuluhan sebagaimana banyak diterapkan oleh penyuluh pada umumnya, tetapi melihat dan memikirkan apa yang dipikirkan dan dibutuhkan oleh para petani.
2.      Tempat yang paling baik adalah tempat kegiatan sasaran
Kegiatan penyuluhan tidak akan efektif apabila hanya berupa teoritis dan selalu dilaksanakan di ruangan. Kegiatan penyuluhan dapat berlangsung baik apabila dilaksanakan di tempat kegiatan sasaran agar materi yang disampaikan lebih mudah dipahami dan diaplikasikan. Sebagai contoh penyuluhan terkait sapi potong dilakukan di kandang sapi potong milik peternak sasaran, sehingga seluruh aspek dapat langsung diaplikasikan dan menambah pemahaman peternak.  Penjelasan tersebut didukung oleh pernyataan Kusnadi (2011) bahwa kegiatan penyuluhan sebaiknya dilaksanakan dengan menerapkan metode yang dilaksanakan di lingkungan pekerjaan (kegiatan) penerima manfaatnya. Hal ini dimaksudkan agar:
a.       Tidak mengganggu kegiatan rutinnya.
b.      Penyuluh dapat memahami betul keadaan penerima manfaat.
c.       Kepada penerima manfaat dapat ditunjukkan contoh – contoh nyata tentang masalah dan potensi serta peluang yang dapat di temukan di lingkungan pekerjaannya sendiri, sehingga mudah dipahami dan diresapi oleh penerima manfaat.
3.      Sikap individu terikat oleh lingkungan sosialnya
Manusia lahir sebagai individu yang unik, yang sampai saat ini tiada duanya. Namun sebagai seorang individu ia sekaligus adalah mahluk sosial, karena perkembangan sosialnya menceritakan perjuangannya untuk menjadi individu dengan hasilnya sendiri, yaitu sebagai seseorang yang menyatakan dirinya sebagai mahluk mandiri. Meskipun pada kala ia lahir ia sangat tergantung pada lingkungan sekitar dan seluruh perilakunya ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis yang dibawa lahir dan berbagai faktor lingkungan. Sepanjang perkembangannya dia “belajar menjadi individu”. Dalam masa belajar itu ia terikat pada lingkungannya, suatu ikatan yang sifatnya esensial bagi eksistensi psikologinya (Semiawan, 2005).
Sebagai mahluk sosial, setiap individu akan selalu berperilaku sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya atau setidak – tidaknya akan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perilaku orang – orang di sekitarnya, karena itu kegiatan penyuluh akan lebih efisien jika diterapkan hanya kepada beberapa warga masyarakat, terutama yang diakui oleh lingkungannya sebagai panutan yang baik (Kusnadi, 2011).
4.      Sebagai mahluk sosial, setiap individu akan berperilaku sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya
Sebagai mahluk sosial, terjadi interaksi dengan lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku setiap individu. Kondisi ini didukung oleh Semiawan (2005) bahwa seluruh perilaku individu ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis yang dibawa lahir dan berbagai faktor lingkungan. Berdasarkan penjelasan tersebut faktor lingkungan sangat mempengaruhi perilaku individu.
Penjelasan tersebut didukung oleh Suparta (2006) bahwa seorang individu cenderung berperilaku sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya. Perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis, reffleksi dari hasil sejumlah pengalaman belajar seseorang terhadap lingkungannya yang dapat dilihat dari aspek pengetahuan (cognitive), sikap (affective), keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action).
5.      Ciptakan hubungan yang akrab dengan sasaran
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, namun memerlukan bantuan orang lain. Seorang penyuluh juga membutuhkan bantuan orang lain, seperti bantuan dari sasaran penyuluhan agar kegiatan dapat dilangsungkan secara lancar tanpa kurang suatu apapun. Perlu tercipta hubungan yang akrab antara penyuluh dengan sasaran agar komunikasi / interaksi antara kedua belah pihak dapat berjalan secara lancar. Azhar (2010) menjelaskan bahwa hubungan antara sasaran dengan penyuluh adalah terkait dalam bagaimana penyuluh dapat merubah tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani dan keluarganya menjadi mandiri.
Sasaran akan lebih cepat mengadopsi inovasi dari penyuluh yang telah akrab dengan sasarannya karena seseorang cenderung lebih menerima masukan dari orang yang telah kenal dan akrab karena telah terjadi komunikasi yang intens dan saling memahami dari kedua belah pihak. Suad (2014) menjelaskan bahwa intensitas kontak antara penyuluh dan petani cenderung berkorelasi positif dengan tingkat adopsi petani terhadap sistem agroforesti. Untuk meningkatkan keakraban dengan petani diperlukan partisipasi petani untuk terlibat dalam penyuluhan.
6.      Memberikan sesuatu untuk terjadi perubahan
Kegiatan penyuluhan akan menarik perhatian dari sasaran apabila materi penyuluhan yang disajikan memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat seperti dari aspek ekonomi, kemudahan diaplikasikan di masyarakat, serta inovasi tersebut belum ada dari yang sebelumnya, atau inovasi yang dihadirkan lebih baik dari teknologi yang pernah ada. Indraningsih (2011) menjelaskan bahwa individu anggota sistem sosial yang berorientasi pada perubahan akan selalu memperbarui diri, terbuka pada hal – hal baru dan giat mencari informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap pada perubahan ini adalah dengan memilih inovasi – inovasi yang layak untuk diperkenalkan. Langkah – langkah operasional sebelum melakukan penyuluhan menurut Suprapto (2009) yaitu mengidentifikasi khalayak sasaran, menentukan tujuan, merencanakan pesan, dan menyeleksi saluran pesan. Identifikasi sasaran merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan karena setelah mengetahui kondisi sasaran, maka penyuluh dapat menentukan mater dan inovasi apa yang tepat untuk diberikan pada sasaran tersebut agar terjadi perubahan yang lebih baik.
Metode penyuluhan berdasarkan hubungan penyuluh dan sasaran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.      Komunikasi langsung, baik melalui percakapan tatap muka atau telefon yang mana komunikasi dapat secara langsung dalam waktu relatif singkat.
2.      Komunikasi tidak langsung, seperti lewat surat, perantara orang lain, dimana komunikasi tidak dalam waktu yang singkat (Pulungan, 2007).
Adinugroho (2005) juga menjelaskan hal serupa bahwa penyuluhan dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sarana komunikasi yang tersedia antara lain buku cerita, media massa, selebaran / brosur, poster, stiker, kalender, video, radio, tv ataupun penyuluhan / komunikasi langsung. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan perbedaan dari kedua metode tersebut yaitu dari segi komunikasi langsung atau menggunakan media perantara. Masing – masing memiliki kelebihan dan kelemahan seperti pada komunikasi langsung akan lebih mudah diaplikasikan oleh sasaran karena apabila kurang paham dapat langsung bertanya untuk meningkatkan pemahaman, namun kelemahannya adalah cakupan yang relatif sempit. Kelebihan dan kelemahan dari komunikasi tidak langsung merupakan kebalikan dari komunikasi langsung.
Media penyuluhan dapat terbagi berdasarkan media yang digunakan. Istilah media berasal dari Bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Makna umum media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi. Media menurut Maulana (2009) adalah saluran atau alat yang dipakai sumber untuk menyampaikan pesan pada sasaran. Jenis dan bentuk media sangat bervariasi dari yang tradisional misalnya getok tular (mulut ke mulut), kenthongan, tulisan sampai penggunaan media elektronik yang modern yakni telepon seluler, TV dan internet. Secara umum dikenal dua macam media yaitu media massa (surat kabar, TV, majalah, radio dan internet) dan media antar pribadi (telepon, surat menyurat dan pembicaraan lainnya).
Fachry (2011) menambahkan bahwa media merupakan alat yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan penyadaran masyarakat. Media yang tepat sasaran akan mempermudah tercapainya tujuan. Keberhasilan suatu kegiatan yang menggunakan media dapat diukur dengan menilai tingkat efektifitas media yang digunakan di masyarakat. Secara umum media penyuluhan dapat diartikan sebagai alat bantu atau bahan penyuluhan yang akan disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum dan kelestarian lingkungan. Macam metode penyuluhan berdasarkan media secara umum terbagi menjadi tiga jenis yaitu:
1.      Media Lisan
Media lisan meliputi sesuatu yang disampaikan secara langsung (melalui
percakapan tatap muka) maupun tidak langsung (lewat radio atau telefon) (Pulungan, 2007). Salah satu kebaikan komunikasi lisan menurut Purwanto (2011) adalah kemampuannya memberikan umpan balik (feedback) dengan segera. Kelebihan lain dari komunikasi lisan adalah sifatnya yang ekonomis. Pendekatan lisan juga bermanfaat bila yang disajikan adalah informasi kontroversial karena reaksi audiens dapat terbaca dari bahasa isyarat mereka sehingga komunikator dapat menyesuaikan pesan – pesan yang akan disampaikan. Komunikasi lisan mencakup antara lain percakapan antara dua orang atau lebih, pembicaraan lewat telepon, wawancara kerja, pertemuan kelompok kecil (diskusi kelompok), seminar, lokakarya, program pelatihan, pidato formal dan presentasi penting lainnya. Pernyataan serupa disampaikan oleh Hamida (2012) bahwa ceramah dan tanya jawab adalah metode yang cukup efektif sebagai penyampai pesan. Salah satu media yang dapat digunakan yaitu ceramah (secara langsung) dan leaflet (tidak langsung).
Keuntungan menggunakan metode ceramah menurut Herijulianti (2001) yaitu murah dan mudah menggunakannya, waktu yang diperlukan dapat dikendalikan oleh penyuluh, mempunyai sifat yang luwes, tidak perlu banyak menggunakan alat bantu atau alat peraga serta penyuluh dapat menjelaskan dengan menekankan bagian yang penting. Kekurangan metode ceramah yaitu dapat menimbulkan kebiasaan yang kurang baik, yaitu sifat pasif, kurang aktif untuk mencari dan mengelola informasi jika sering digunakan, hanya sedikit penyuluh yang dapat menjadi pembicara yang baik, bahan ceramah seringkali tidak sesuai, tidak semua sasaran mempunyai daya tangkap yang sama, sulit mendapat umpan balik dari sasaran, sering menimbulkan verbalisme pada sasaran yaitu sasaran apat mengucapkan kata tetapi tidak mengetahui apa artinya, sering menimbulkan salah paham karena sasaran salah mengartikan uraian arti penyuluh serta ceramah dalam waktu yang lama dapat membosankan sehingga sering mengganggu konsentrasi berpikir sasaran. Penjelasan tersebut sedikit berbeda dengan pernyataan dari Purwanto (2011) terkait masalah umpan balik. Umpan balik dalam media lisan sangat dipengaruhi oleh penyuluh itu sendiri, apabila penyuluh dapat menghidupkan suasana dan membuat kegiatan penyuluhan menjadi menarik maka akan banyak feedback dari sasaran, namun bila membosankan maka akan sulit mendapatkan feedback tersebut. 
2.      Media Cetak
Media cetak menurut Kasali (2007) adalah suatu media yang statis dan mengutamakan pesan – pesan visual. Media ini terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambar, atau foto dalam tata warna dan halaman putih. Suprapto (2009) menjelaskan bahwa penyuluh memerlukan format yang kuat untuk pesan, seperti dalam penggunaan media cetak penyuluh harus memutuskan judul, ilustrasi dan warna. Agar menarik perhatian, penyuluh dapat menggunakan sesuatu yang baru dan kontras, gambar dan judul yang menarik perhatian, format yang berbeda, ukuran pesan, dan posisi serta warna bentuk, serta penyajiannya. Kelebihan media cetak / komunikasi tertulis adalah bahwa penulis mempunyai kesempatan untuk merencanakan dan mengendalikan pesan – pesan mereka. Suatu format tulisan diperlukan, jika informasi yang disampaikan kompleks, dibutuhkan catatan permanen untuk referensi di massa yang akan datang dan jumlah audiens yang banyak dan menyebar.

3.      Media Terproyeksi
Media terproyeksi digunakan agar penyuluhan yang dilakukan menjadi lebih menarik. Pulungan (2007) menjelaskan bahwa media terproyeksi berupa gambar atau tulisan lewat slide, maupun pertunjukan film. Film merupakan penyampaian pesan dengan bantuan media berupa LCD yang berisi kata – kata, gambar yang bergerak dan suara. Penjelasan – penjelasan tersebut didukung oleh Purwanto (2011) bahwa alat bantu audiovisual seperti film, video klip, audio rekaman, proyektor, LCD dan slide show seringkali digunakan untuk memberikan daya tarik bagi suatu presentasi. Karena tidak mudahnya mengoordinasi semua efek audiovisual, presentasi seperti ini harus direncanakan dengan sebaik – baiknya.
Selain berdasarkan media yang digunakan, metode penyuluhan juga terbagi berdasarkan psikososial sasaran yaitu:
1.      Pendekatan perseorangan
Pendekatan perseorangan dimana penyuluh berkomunikasi secara orang perorangan, seperti melalui kunjungan rumah ataupun kunjungan di tempat kegiatan sasaran (Pulungan, 2007). Metode ini membutuhkan ketelatenan dan kesabaran, serta membutuhkan waktu dan tenaga yang besar (Ningsih, 2011). Metode pendekatan perorangan adalah yang paling efektif dan intensif dibanding metode lainnya, namun karena berbagai kelemahan maka pendekatan ini jarang diterapkan pada program penyuluhan yang membutuhkan waktu yang relatif cepat (Yoga, 2015)
2.      Pendekatan kelompok
Pendekatan / penyuluhan kelompok menurut Herijuliwati (2001) adalah sekumpulan individu yang mempunyai ciri – ciri khusus, yaitu yang jumlah orangnya masih dapat dihitung dan siapa orang yang berkelompok ini masih dapat diketahui. Penyuluhan pada kelompok dapat dilakukan dengan cara sengaja mengundang / mengumpulkan orang dan menyelipkan pada pertemuan yang sudah ada. Kelebihan pendekatan kelompok menurut Ramadoan (2013) yakni karena proses penyadaran terhadap masyarakat menjadi lebih cepat, daya jangkauan informasi terhadap masyarakat menjadi lebih luas, dan lebih sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan. Penjelasan tersebut didukung oleh Far Far (2014) bahwa metode pendekatan secara berkelompok selain praktis, lebih efisien untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi secara bersama – sama.
3.      Pendekatan massal
Pendekatan / penyuluhan massal menurut Herijulianti (2001) yaitu penyuluhan yang diberikan sekaligus kepada orang yang jumlahnya tidak terhitung dan bisa terdiri atas berbagai macam kelompok. Cara sederhana dalam penyuluhan massal seperti pemasangan poster / tulisan di tempat ramai, melalui tontonan / hiburan yang disenangi masyarakat, dan memasang pesan di kendaraan, lalu dibawa berkeliling desa. Yoga (2015) menjelaskan bahwa ddari segi penyampaian informasi, metode ini cukup baik, namun terbatas hanya dapat menimbulkan kesadaran dan keingintahuan semata. Hal ini disebabkan pemberi dan penerima informasi cenderung mengalami proses selektif saat menggunakan media massa sehingga pesan yang disampaikan mengalami distorsi.

                                                                                                                           III.            DINAMIKA KELOMPOK

Dinamika kelompok yaitu cara kelompok bereaksi antar sesamanya dan terhadap rangsangan rapat. Kondisi ini mencakup reaksi kelompok terhadap pembicara (apa dan cara mengatakan), lingkungan (fasilitas dan keadaan ruang), topik yang sedang dibicarakan dan apa artinya bagi mereka, serta masing – masing anggota kelompok (Kartono, 1992). Menurut Syamsu et al. (1991), dinamika kelompok adalah suatu studi yang menganalisis berbagai kekuatan yang menentukan perilaku anggota dan perilaku kelompok yang menyebabkan terjadinya gerak perubahan dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Dinamika kelompok menurut Gunarsa (2008) adalah analisa dari relasi – relasi kelompok sosial, berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dalam kelompok itu adalah hasil dari interaksi yang dinamis antara individu – individu dalam situasi sosial.
Dinamika kelompok yaitu kekuatan internal maupun eksternal yang saling mempengaruhi msayarakat kelompok untuk mencapai tujuannya. Menurut Diniyati (2009) bahwa terdapat enam unsur dalam pembangunan masyarakat terpadu, yaitu: pembangunan pertanian dengan padat karya, memperluas kesempatan kerja, intensifikasi tenaga kerja dengan industri kecil, mandiri dan meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, mengembangkan perkotaan yang dapat mendukung pembangunan pedesaan, membangun kelembagaan yang dapat melakukan koordinasi proyek multisektor. Menurut Andarwati (2012) apabila anggota kelompok tidak mengetahui tujuan kelompoknya, maka selama ikut dalam kelompok mereka tidak tahu arah tujuan kelompok dan berakibat kelompok menjadi pasif dan tidak produktif.
Analisis terhadap komponen atau bagian-bagian organisasi, pada dasarnya merupakan analisis terhadap unsur-unsur  yang terdapat di dalam kelompok yang diatur dan disediakan oleh kelompok yang bersangkutan demi berlangsungnya kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok tersebut.
1.                  Tujuan kelompok (goal)
Tujuan Kelompok yaitu hasil akhir yang ingin dicapai, baik berupa obyek atau keadaan serta keinginan lain yang diinginkan dan dapat memuaskan semua anggota kelompok (Suprijanto, 2007). Adanya tujuan kelompok menggerakkan semua anggota untuk selalu melaksanakan tindakan demi tujuan yang diinginkan. Karena itu, tujuan harus disusun sederhana tapi jelas agar seluruh anggota mampu memahami. Roberts (2009) menjelaskan bahwa apabila para pekerja sosial tidak pasti tentang tujuan kelompok, anggota menemukan diri mereka kebingungan tentang peran mereka, dengan demikian meningkatkan potensi frustasi, kebingungan dan konflik interpersonal. Menurut Santosa (2012) bahwa hubungan antara tujuan kelompok dengan tujuan anggota bisa sepenuhnya bertentangan, sebagian bertentangan, netral maupun searah.
2.                  Jenjang sosial (social rank),
Menurut Huraeurah dan Purwanto (2006) struktur kelompok sebagai suatu pola interaksi, komunikasi dan hubungan-hubungan antara anggota kelompok. Struktur kelompok ada yang bersifat formal dan ada pula yang bersifat informal. Jika suatu struktur kelompok telah menjadi kuat, biasanya sulit untuk mengadakan perubahan terhadap struktur kelompok tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan struktur kelompok yaitu jika tujuan perubahan tersebut tidak dikemukakan secara jelas, berorientasi pada kepentingan pribadi, dilakukan secara mendadak, kurang bermanfaat, unsur pimpinan tidak diikutsertakan dalam perubahan, serta jika kelompok telah merasa puas terhadap kondisi yang dimiliki sekarang ini. Menurut Kusai, dkk (2013) struktur kelompok merupakan hubungan individu dan kelompok yang disesuaikan dengan posisi dan peran masing-masing anggota. Menurut Huraeurah (2006) struktur kelompok sebagai suatu pola interaksi, komunikasi dan hubungan-hubungan antara anggota kelompok. Jika suatu struktur kelompok telah menjadi kuat, biasanya sulit untuk mengadakan perubahan terhadap struktur kelompok tersebut.
3.                  Peran kedudukan
Menurut Astusi (2010) bahwa dalam suatu kelompok harus terdapat struktur organisasi. Struktur organisasi tersebut terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Dimana tugas seorang ketua adalah mengkoordinir pengurus dan anggota, memimpin jalannya rapat atau perteuan, serta bertanggungjawab atas jalannya semua kegiatan kelompok. Peranan menurut Maryati (2007) merupakan aspek dinamis kedudukan atau status. Peranan adalah perilaku yang diharapkan oleh pihak lain dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan status yang dimilikinya. Status dan peranan tidak dapat dipisahkan karena tidak ada peranan tanpa status dan tidak ada status tanpa peranan. Perbedaan peran kedudukan, akan membuat setiap anggota harus melaksanakan tugas sesuai dengan hak yang diperoleh. Dengan demikian, setiap individu akanbekerja keras untuk melaksanakan perannya sebaiknya agar tidak kehilangan kedudukannya. Waluya (2007) menjelaskan bahwa antara kedudukan dan peran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam mobilitas sosial. Kedudukan seseorang dapat menjadi lebih tinggi atau menurun karena adanya penghargaan yang diberikan kepada peran –perannya. Sebaliknya, keberhasilan seseorang atau masyarakat dalam melakukan perannya juga bergantung pada kedudukannya. Budiarto (2010) menambahkan bahwa sebagai seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok sesuai dengan peran kedudukannya dalam struktur kelompok, maka setiap orang harus memahami betul tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk tujuan kelompok. Peran hendaknya dilekatkan pada individu yang oleh masyarakat dianggap mampu untuk melaksanakannya. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya fasilitas-fasilitas bagi seseorang atau kelompok untuk dapat menjalankan peranannya. Setiap peran yang dijalankan seseorang merupakan gambaran dari kedudukannya. Disini peranan kedudukan seorang pemimpin yaitu berperan untuk membangkitkan kesadaran, melalui perannya sebagai guru yang kreatif, yang mana tugasnya adalah menciptakan peluang agar pengikutnya melakukan suatu tugas, terlibat dalam pemecahan masalah mengajukan gagasan untuk terobosan.
4.                  Kekuasaan (power)
Kekuasaan menurut Sopiah (2008) adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh pada orang lain artinya kemampuan untuk mengubah sikap atau tingkah laku individu atau kelompok. Kekuasaan juga berarti kemampuan untuk mempengaruhi individu, kelompok, keputusan, atau kejadian. Kekuasaan tidak sama dengan wewenang, wewenang tanpa kekuasaan atau  kekuasaan tanpa wewenang akan menyebabkan konflik dalam organisasi. Kekuasaan menurut Budiardjo (2008) adalah kemampuan seorang pelaku untuk memengaruhi perilaku seorang pelaku lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Budiharsono (2004) menambahkan bahwa kekuasaan biasanya terbentuk dari hubungan antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah, kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramid, kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum, serta kekuasaan dapat dilakukan dengan baik apabila memiliki alat/sarana. Kekuasaan, biasanya melekat dengan kedudukannya. Karena itulah, setiap orang dalam kelompok akan berusaha mempertahankan dan atau merebut kedudukan anggota yang lain untuk memperoleh kekuasaan yang diinginkan. Irawati (2011) menambahkan bahwa Kekuasaan tidak begitu saja diperoleh individu, ada 3 sumber kekuasaan, yaitu : (1) Kekuasaan balas jasa (reward power), didasarkan pada kemampuan seseorang pemberi pengaruh untuk memberi penghargaan pada orang lain; (2) Kekuasaan paksaan (coercive power), didasarkan pada kemampuan orang untuk menghukum orang yang dipengaruhi kalau tidak memenuhi perintah atau persyaratan; (3) Kekuasaan sah (legitimate power), diperoleh berdasarkan hukum atau aturan tertentu. Menurut Suprapto (2013) bahwa Suatu kekuasaan adalah sah dan diakui apabila memiliki atribut-atribut tertentu, seperti misalnya; keadilan, moralitas, agama, dan  nilai-nilai budaya lainnya yang merumuskan tujuan-tujuan tertentu maupun tanggung jawab dari mereka yang memegang kekuasaan. Oleh karena kekuasaan dianggap merupakan suatu sarana.
5.                  Kepercayaan (belief)
Kepercayaan yaitu segala sesuatu yang secara akal atau perasaan anggota kelompok dinilai sebagai kebenaran, yang digunakan sebagai landasan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepercayaan menurut Hardjana (2000) adalah harapan orang yang percaya bahwa orang yang dipercaya akan bertindak demi kebaikan orang yang memberi kepercayaan. Karena dalam hubungan ini profesional merupakan pihak yang dipercaya, maka profesional harus mengarahkan tindakannya demi kebaikan klien agar pantas mendapat kepercayaan klien. Adanya kepercayaan, setiap anggota akan selalu berusaha menunjukkan perilaku tertentu dan akan saling menjaga agar anggota tidak melakukan kegiatan menyimpang, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Indrayana (2007) menjelaskan bahwa kebalikan dari kepercayaan adalah kecurigaan (suspicion) sehingga apabila tidak memiliki kepercayaan maka segalanya menjadi kebalikan, semua harus dicek ulang, integritas, kemampuan, agenda dan akibatnya proses menjadi lambat dan menjadi berbiaya tinggi. Menurut Yusuf (2009) bahwa Kejujuran seseorang akan mengantarkan pada sikap amanah yang orang berikan kepadanya. Pemimpin yang memiliki sifat jujur akan berusaha mementingkan kepentingan rakyat dari pada kepentingan sendiri. Karena ia akan berusaha mengemban amanah yang telah diberikan rakyat kepadanya. Ia tidak akan berani berbuat yang melanggar aturan yang dapat merugikan rakyatnya dan rakyat pun akan semakin mencintai pemimpin tersebut. Menurut Syamsi (2010) bahwa pada kenyataannya faktor disiplin kerja mempunyai peranan penting dalam membentuk seseorang yang mempunyai tanggung jawab dalam bekerja.
6.                  Sanksi (sanction)
Sanksi yaitu perlakuan yang diberikan kepada anggota kelompok berupa ganjaran (reward) bagi yang mentaati dan hukuman (punishment) bagi yang melanggar aturan. Sanksi menurut Hariono (2016) adalah tanggungan (tindakan, hukuman dan sebagainya) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan, tindakan (mengenai perekonomian dan sebagainya). Sanksi menurut Waluya (2007) diberikan atau ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku para masyarakat supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan adanya sanksi di dalam kelompok, setiap anggota diharapkan akan melakukan kegiatan yang sudah disepakati dengan benar demi tercapainya tujuan. Sanksi menurut Andarwati (2012) merupakan sistem penghargaan atau hukuman terhadap perilaku kelompok atau anggota kelompok. Aspek persaingan untuk maju harus terus dimotivasi. Sebaiknya, penghargaan untuk anggota perlu diberikan dan ditingkatkan, begitu pula dengan adanya sanksi dan hukuman yang tegas dan jelas wajib diberlakukan sehingga kelompok dapat berjalan dengan baik. Jayanti (2014) menambahkan bahwa pada dasarnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Salah satu faktor tersebut adalah penghargaan dan sanksi (reward dan punishment). Pada suatu organisasi atau perusahaan sangat diperlukan adanya program penghargaan dan sanksi, sebab program ini merupakan salah satu bagian penting dari sekian banyak program kerja perusahaan.
7.                  Norma
Norma menurut Saputra (2007) adalah kaidah aturan atau adat kebiasaan dan hukum atau hukum yang berlaku. Adapun kaidah atau norma yang berlaku dalam masyarakat sangat banyak dan bervariasi. Dilihat dari pembuatannya, secara umum norma ada dua yaitu norma yang dibuat oleh negara dan aturan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Norma menurut Waluya (2007) adalah pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau pantas menurut kelompok atau masyarakat. Adanya norma, dimaksudkan agar setiap anggota mentaatinya, sehingga tujuan kelompok dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Ada tiga kategori norma kelompok, yaitu norma sosial, prosedural dan tugas. Norma sosial mengatur hubungan di antara para nggota kelompok. Sedangkan norma procedural menguraikan dengan lebih rinci bagaimana kelompok harus beroperasi, seperti bagaimana suatu kelompok harus membuat keputusan, apakah melalui suara mayoritas ataukah dilakukan pembicaraan sampai tercapai kesepakatan. Dari norma tugas memusatkan perhatian pada bagaimana suatu pekerjaan harus dilaksanakan (Effendi, 2007).
8.                  Perasaan – perasaan (sentiment)
Perasaan – perasaan yaitu tanggapan emosional yang ditunjukkan oleh setiap anggota terhadap kelompoknya. Perasaan tersebut dapat berujud: kesenangan, kekecewaan, kesetiaan. Adanya perasaan-perasaan tertentu di kalangan anggota kelompok, dapat dijadikan ukuran untuk melihat kelompok tersebut telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan semua anggotanya atau tidak. Dengan kata lain, setiap anggota kelompok selalu dituntut untuk mematuhi semua aturan dan melaksanakan kegiatan dengan benar agar dapat memuaskan semua anggota yang lain.
Perasaan dan emosi menurut Fauzi (2010) pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Sobur (2011) menambahkan bahwa perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Disinilah yang disebut sebagai gejala psikis yang bersifat subyektif.
9.                  Fasilitas (facility),
Fasilitas menurut Waluya (2007) adalah semua bentuk cara, metode, benda – benda yang digunakan manusia untuk menciptakan tujuan sistem sosial itu sendiri. Dengan demikian fasilitas disini sama dengan sumber daya material atau keberadaan dan sumber daya immaterial berupa ide atau gagasan. Setiap anggota harus memanfaatkan fasilitas yang tersedia semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan (Albin, 2010). Fasilitas merupakan segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya dan memperlanca kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan. Fasilitas adalah sarana untuk melancarkan dan memudahkan pelaksanaan fungsi. Pengertian lain fasilitas adalah komponen individual dari penawaran yang mudah ditumbuhkan atau dikurangi tanpa mengubah kualitas dan model jasa. Fasilitas juga merupakan alat untuk membedakan program lembaga pendidikan yang satu dari pesaing yang lainnya (Lupiyaodi, 2008). Ermiati (2013) menyatakan bahwa dalam menjalankan aktifitas didalam organisasi anggota mengharapkan mendapatkan fasilitas yang layak dengan fasilitas yang tersedia maka dapat meningkatkan produktivitas kerja anggota. Salah satu factor yang mempengaruhi kerja anggota adalah dukungan organisasi yang artinya kinerja setiap orang tergantung pada dukungan organisasi dalam bentuk pengorganisasian, penyediaan sarana, dan pra sarana kerja pemilihan tehknologi, penyamananan lingkungan kerja, serta kondisi dan syarat kerja (Pratama, 2012). Menurut Wahid (2008) fasilitas menyangkut wahana ataupun alat yang perlu untuk mencapai tujuan kelompok. Lestari (2011) menambahkan bahwa Karakteristik dari sarana pendukung dalam proses aktifitas organisasi/perusahaan adalah : adanya  fasilitas yang mempunyai bentuk fisik, memberikan manfaat dimasa yang akan datang dan sesuai dengan fasilitas kerja. Beberapa penunjang fasilitas adalah mesin dan peralatan, prasarana, perlengkapan kantor, peralatan inventaris, tanah dan bangunan serta alat transportasi.
10.              Tegangan dan himpitan (stress and strain),
Tegangan dan himpitan yaitu adanya tegangan atau tekanan-tekanan (baik yang berasal dari dalam maupun dari luar) yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan antar sesama anggota kelompok yang bersangkutan, demi tercapainya tujuan kelompok (Suprijanto,2007). Sumber tekanan menurut slamet (2008), dapat berasal dari dalam kelompok (internal pressure), atau berasal dari luar kelompok (eksternal pressure). Tekanan kelompok yaitu tekanan dalam kelompok yang menyebabkan kelompok tersebut berusaha keras untuk mencapai tujuan kelompok, yaitu persaingan untuk maju, penghargaan terhadap anggota, sanksi dan hukuman (Andarwati, 2012). Tekanan pada kelompok adalah tekanan-tekanan dalam kelompok yang menimbulkan ketegangan pada kelompok untuk menimbulkan dorongan ataupun motivasi dalam mencapai tujuan kelompok. Fungsi tekanan pada kelompok (group pressure) adalah membantu kelompok mencapai tujuan, mempertahankan dirinya sebagai kelompok, membantu anggota kelompok memperkuat pendapatnya serta memantapkan hubungan dengan lingkungan sosialnya. Tekanan pada kelompok merupakan tantangan bagi kelompok yang dapat bersumber dari dalam maupun dari luar kelompok. Dalam menumbuhkan tekanan pada kelompok harus cermat dan tepat karena akan mendinamiskan kelompok (Lestari, 2011).

                                                                                                      IV.            PENDIDIKAN ORANG DEWASA

Pendidikan Orang Dewasa (POD) adalah proses pendidikan yang diorganisasikan isi atau pesannya, metode penyampaiannya maupun pelaksanaan di lapangan, dengan tujuan akhir terjadi perubahan perilaku, baik dalam pengetahuan, sikap, keterampilan, maupun secara material.  Menurut Supriantono (2008), pendidikan dewasa adalah suatu proses yang menumbuhkan keinginan untuk bertanya dan belajar secara berkelanjutan sepanjang hidup. Bagi orang dewasa belajar berhubungan dengan bagaimana mengarahkan diri sendiri untuk  bertanya dan mencari jawabannya. Menurut Gunarya (2012) belajar adalah panggilan hidup kita,  bukan karena disuruh orang tua/guru/dosen atau siapapun, tetapi merupakan konsekwensi logik dari kehidupan. Tanpa belajar, kita tidak dapat melakukan ‘proses menjadi‘ diri kita, apalagi diri kita sesuai fitrah, sesuai kehendak -Nya, yang diyakini baik adanya. Pengertian orang dewasa menurut Kartakusumah (2006) dapat didekati dari aspek biologis, psikologis dan sosiologis. Didekati dari ketiga aspek tersebut, orang dewasa dapat diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi – fungsi biologis, psikologis, dan sosial dalam segi – segi pertimbangan, tanggung jawab dan peran dalam kehidupan.
Ø  Hambatan Psikologis
1.      Orang dewasa tidak diajak, namun dimotivasi
Menurut Rosita (2011), mengungkapkan bahwa hambatan psikis terbagi menjadi empat bagian yaitu harapan masa depan, latar balakang sosial, keluarga, dan daya ingat. Harapan berbeda antar individu, jika materi yang diberikan merujuk pada cita-cita atau harapan seseorang maka orang tersebut akan lebih semangat dalam  belajarnya. Kemudian latar belakang sosial, jika latar belakang sosialnya nyaman maka pross penyerapan ilmu akan lebih baik karena jika tidak akan menjadi gangguan dalam pola pikir orang tersebut. Keluarga juga menentukan keberhasilan pembelajaran orang dewasa, keluarga yang haromins akan menciptakan suasana yang nyaman dan belajar pun jadi lebih nyaman dan mudah untuk dierima begitu juga daya ingat seseorang yang berbeda-beda. Akan lebih  baik jika selalu diulang-ulang agar materi yang disampaikan akan lebih mudah diterima. Mereka tidak diajar, tetapi dimotivasi untuk mencari pengetahuan baru, keterampilan baru, sikap yang berbeda (Herliana, 2011).    Orang dewasa dalam proses pembelajaran cenderung lebih suka motivasi ketimbang di gurui, karena dengan motivasi akan menumbuhkan minat belajar atau mempunyai keinginan untuk melaksanakan kegiatan belajar (Eryanto dan Rika, 2013). Feldman (2012) menyatakan bahwa motivasi merupakan faktor yang mengarahkan dan memberikan energi pada tingkah laku manusia dan organisme lainnya karena memiliki aspek biologis, kognitif dan sosial, serta kompleksitas. Pengalaman belajar menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) hendaklah dirancang berdasarkan kebutuhan dan masalah yang dihadapi orang dewasa, seperti kebutuhan dan masalah dalam pekerjaan,  peranan sosial budaya dan ekonomi. Belajar yang berorientasi penggunaan keterampilan (skills) menjadi motivasi kuat dalam pembelajaran orang dewasa.
2.      Pesan berhubungan dengan kebutuhan
Pemberian informasi tetap penting, tetapi harus dikaitkan dengan tujuan untuk mengubah perilaku manusia. Oleh karena itu, pemberian informasi yang diberikan harus mengikuti asas – asas pendidikan, yang disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan dan umur (Martono, 2008). Menurut Bambang (2010) hal yang terpenting dalam pendidikan orang dewasa adalah apa yang dipelajari pelajar, bukan apa yang diajarkan pengajar. Salah satu prinsip belajar orang dewasa adalah belajar karena adanya suatu kebutuhan. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya  (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dari setiap individu yang bersangkutan (Herliana, 2011).
3.      Belajar adalah menyakitkan Karena Meninggalkan Kebiasaan dan Cara Berpikir Lama
Orang dewasa seolah-olah sudah yakin terhadap apa yang pernah dipelajari, sehingga cenderung untuk menolak hal-hal yang sifatnya baru. Mereka sulit menerima gagasan, konsep, metode, dan prinsip yang baru. Hal ini yang  menyebabkan mereka bertindak secara otoriter sebagai cara untuk mempertahankan diri (Asmin, 2006). King (2010) menyatakan bahwa orang dewasa cenderung menyukai pada hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang membaik seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanaan ini meliputi pengetahuan peserta didik mengenaik aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan ini mungkin meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup. Rumanti (2006) menjelaskan bahwa pengembangan karakter dan keterampilan yang sesungguhnya selalu terkait pada hukum alam dan prinsip yang berlaku. Dengan memahami kedua hal itu kita memperoleh kekuatan untuk meninggalkan masa lalu, menghentikan kebiasaan lama yang bisa merugikan, mengubah paradigma, bila kita memperoleh kemegahan utama dan hubungan yang efektif antar pribadi.
4.      Belajar adalah mengalami sesuatu
Setiap individu orang dewasa dapat belajar secara efektif bila setiap individu mampu menemukan makna pribadi bagi dirinya dan memandang makna yang baik itu berhubungan keperluan pribadinya (Asmin, 2006). Menurut Herliana (2011) Orang dewasa sering mempunyai kesulitan untuk memperbaiki kesalahan yang telah menjadi kebiasaannya. Mereka cenderung mengulangi kesalahan walaupun sudah mengetahui kesalahan yang diperbuat. Orang dewasa belajar dari sesuatu yang dialami. Sedikit sekali hasil belajar diperoleh melalui ceramah, khotbah, atau dengan digurui. Cervone dan Pervin (2012) menyatakan orang dewasa lebih suka pada hal yang bersifat pengalaman karena mereka memliki ketahanan psikologis. Ketahanan psikologis tersebut disebabkan karena meningkatnya kebijaksanaan pribadi walaupun mungkin terjadi penurunan kognitif. Seseorang yang belajar menurut Nggili (2015) tidak hanya pintar dan cerdas secara intelektual, namun juga mengalami pengembangan secara emosional, spiritual dan fisik. Dalam pendekatan pendidikan, tujuan dari belajar yakni agarmengalami perubahan dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5.      Belajar adalah khas dan bersifar individual
Belajar menurut Prayitno (2009) merupakan kegiatan khas manusia karena selain manusia tidak ada mahluk lain yang melakukan kegiatan belajar. Sesuai dengan kemampuan belajarnya itu maka Tuhan menugasi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sifat belajar orang dewasa bersifat subyektif dan unik, hal itulah yang membuat orang dewasa untuk semakin berupaya semaksimal mungkin dalam belajar, sehingga apa yang menjadi harapan dapat tercapai (Sujarwo, 2010). Proses belajar orang dewasa merupakan hal yang unik dan khusus serta bersifat individual. Setiap individu orang dewasa memiliki kiat dan strategi untuk mempelajari dan menemukan pemecahan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran tersebut. Dengan adanya pelung untuk mengamati kiat dan strategi individu lain dalam belajar, diharapkan hal itu dapat memperbaiki dan menyempurnakan caranya sendiri dalam belajar, sebagai upaya koreksi yang lebih efektif. (Asmin, 2006). Ciri khas dari seseorang perlu diperhatikan  karena setiap orang memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi tuntutan untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut (Afrizon, dkk. 2012). Suasana mengakui kekhasan kepribadian sebagai pribadi yang unik, manusia belajar secara khas dan unik pula. Masing-masing diwarnai oleh tingkat kecerdasan sendiri, kepercayaan diri, dan perasaan masing-masing (Thoyib, 2006).
6.      Sumber belajar untuk bahan belajar terdapat pada pengalaman
Dalam belajar, orang dewasa telah memiliki konsep diri yang harus dihargai, memiliki pengalaman yang dapat dijadikan sumber belajar, orientasi belajar diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan dan peningkatan peran dan status sosial dalam masyarakat (Sudjana, 2006). Menurut Bambang (2010), peranan pengalaman asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Pengalaman diri menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) adalah kecakapan orang dewasa pada masa kini dengan berbagai situasi masa lalu. Implikasi praktis dalam pembelajaran, orang dewasa akan mampu berurun rembug berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya.
7.      Belajar adalah proses intelektual dan emosional
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktifitas mental-berpikir, menalar, dan memecahkan masalah. Individu dalam sebagian besar masyarakat menempatkan kecerdasan, dan untuk alasan lain yang tepat, pada nilai yang tinggi. Individu yang cerdas juga lebih mungkin menjadi pemimpin dalam suatu kelompok (Robbins, 2008). Prawira (2012) mengklasifikasikan kecerdasan intelektual menjadi 3 tipe, yaitu  kecerdasan riil (concrete intelligence), kecerdasan  abstrak (abstract  intelligence),dan  kecerdasan sosial  (social  intelligence). Masa dewasa dicirikan dengan penurunan intelektual, karena adanya proses penuaan yang dialami setiap orang. Beberapa kemampuan memang menurun, sementara kemampuan lainnya tidak. Kecepatan memproses informasi secara pelan-pelan memang akan mengalami penurunan pada masa dewasa akhir, namun faktor individual differences juga berperan dalam hal ini.
Belajar sangat kompleks dan belum diketahui segala seluk beluknya. Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik kecakapan dan ketangkasan belajar berbeda secara individual. walau demikian pilihlah metode yang paling tepat dalam belajar orang dewasa, memberikan petunjuk-petunjuk umum tentang cara-cara belajar yang efisien. Menurut Budiarta (2014), emosional adalah kemampuan seseorang untu mengembangkan kesadaran diri sendiri, kemampuan mengembangkan pengaturan diri, kemampuan mengembangkan empati, dan kemampuan mengembangkan kecapakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Hartanto (2009) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang bersangkutan dengan kemampuan orang utnuk berhubungan dan memahami orang lain serta situasi dimana interaksi itu terjadi. Kecerdasan ini juga berasosiasi dengan kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi sendiri, seperti rasa takut, marah, agresivitas, rasa tidak suka atau iri hati.
8.      Belajar adalah hasil kerjasama antar manusia
Kerjasama adalah mau menerima saran dan gagasan orang lain, bekerjasama secara harmonis dengan orang – orang lain untuk mencapai tujuan (Rangkuti, 2007). Menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007) indikator kerjasama adalah kontribusi dalam menyelesaikan masalah bersama, membina keutuhan dan kekompakkan kelompok, tidak mendikte dan mendominasi kelompok dan mau menerima pendapat orang lain. Leilani (2006) menjelaskan bahwa kekompakan kelompok merupakan kesatuan dan persatuan kelompok. Semua ini menjadi suatu kekuatan dalam kelompok, sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh anggota. Tika (2010) menambahkan untuk menjaga kekompakan kelompok perlu diperhatikan masalah enam unsur masalah integrasi internal yaitu (1) bahasa yang sama dan kategori konseptual; (2) batas – batas kelompok dan kriteria inklusif dan eksklusif; (3) kekuatan dan status; (4) hubungan kekeluargaan dan cinta; (5) imbalan dan hukuman; (6) agama dan ideologi. Hughes dkk (2012), menyatakan kekompakan kelompok merupakan perekat yang menjaga keutuhan kelompok. Kekompakan merupakan total kekuatan yang menarik para anggota untuk masuk ke dalam sebuah kelompok, mencegah mereka keluar dari kelompok, dan memotivasi mereka untuk aktif di dalam kelompok tersebut. Kelompok yang amat kompak saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain lebih dari kelompok yang kurang kompak
9.      Belajar adalah proses evolusi
Evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Sebagian besar evaluasi yang digunakan adalah evaluasi mikro karena lingkup pendidikannya berada di tingkat kelas. Implementasi dari model evaluasi mikro dalam bentuk tes yang di gunakan untuk mengukur dan menilai tingkat kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang telah disampaikan (Arifin, 2012). Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses evolusi, artinya penerimaan ilmu tidak dapat dipaksakan begitu saja, tetapi dilakukan secara bertahap melalui suatu urutan proses tertentu. Dalam kegiatan pendidikan, umumnya pendidik merencanakan materi pengetahuan dan keterampilan yang akan diberikan jauh hari sebelumnya (Nursalam, 2008). Proses evolusi terjadi karena adanya tantangan yang harus dihadapi. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Setiawan (2010) bahwa tanpa adanya tantangan, otak tidak akan berkembang dengan baik, tidak akan mengalami proses evolusi yang membawa manusia untuk naik tingkat. Agar proses belajar maksimal maka harus ada keseimbangan antara tantangan yang benar – benar menantang dan juga keadaan yang tenang dan damai, minim akan ancaman. Proses evolusi diawali dengan tahap mengamati sesuai dengan pernyataan Nggili (2015) bahwa belajar dengan cara mengamati dan berusaha memahami makna sebuah obyek membuat manusia menjadi salah satu jenis mahluk hidup yang dapat survive dalam evolusi alam yang terjadi. Dengan mengamati secara mandiri, maka membangkitkan rasa keingin tahuan, dan serta merta menentukan tujuan dari belajar itu sendiri.
Ø  Perilaku yang Menghambat
1.      Harapan yang didapat tidak sesuai
Masyarakat sasaran dalam kegiatan penyuluhan mengharapkan hasil yang dapat diterapkan, namun terkadang penyuluh yang memberikan materi tidak dilaksanakan secara kontinyu sehingga ketika penyuluhan tersebut telah selesai, selesai juga kegiatan yang telah terlaksana tersebut. Sehingga kebosananlah yang didapat oleh sasaran dan ketika hendak dilaksanakan kegiatan penyuluhan, masyarakat enggan untuk mengikutunya kembali ( menolak ) karena adanya rasa kecewa yang timbul (Eliizabeth, 2007). King (2010) menyatakan bahwa orang dewasa cenderung menyukai pada hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang membaik seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom). Oleh karena itu, apabila hasil dari penyuluhan tidak sesuai, sasaran tidak melakukan evaluasi penyebab kegagalan, namun sasaran akan kembali ke pola lama sesuai pengalaman mereka.
2.      Mendengar teori yang muluk sehingga meragukan untuk diterapkan
Teori menurut Budiardjo (2008) adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep lahir dalam pikiran (mind) manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan.  Meski demikian apabila dalam penyuluhan terlalu banyak teori justru menyebabkan kegiatan penyuluhan menjadi membosankan dan kurang diminati sehingga tujuan dari penyuluhan sulit diaplikasikan.  Kondisi ini sesuai dengan penjelasan Hubeis (2007) bahwa teori yang berlebihan dapat menimbulkan rasa ragu pada sasaran sehingga sasaran yang hendak mengikuti nya berpikir lagi dan mereka berpikir bahwa penyuluh hanya menyia - nyiakan waktu sasaran dan mereka akan memilih ke aktivitasnya semula keladang pertanian dari pada mengikuti penyuluhan.
3.      Petunjuk baru harus mencari pemecahan sendiri
Padmowiharjo (2007) menjelaskan bahwa penyuluhan pertanian adalah proses kapasitasi SDM petani melalui sistem pendidikan nonformal. Penyuluhan tidak akan bertahan lama tanpa proses pendampingan. Pada penyuluhan pertanian dilakukan dengan pendampingan partisipatif petani tidak dibiarkan sendirian dalam mengakses informasi, menganalisis situasi yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan perkiraan kedepan, meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan wawasan, menyusun kerangka pemikiran. Apabila sasaran tidak diberikan pendampingan, sasaran menjadi tidak percaya lagi kepada penyuluh karena mereka menganggap penyuluh hanya sebatas memberi materi baru, namun tidak membantu sasaran saat sasaran sedang mengaplikasikan materi baru tersebut.
4.      Pesan bersifat umum dan tidak spesifik
Dalam penyampaian pesan kepada peseta didik tidak perlu melakukan banyak teori namun lebih kepada hasil, artinya masyarakat akan antusias apabila proses belajar sedikit teori namun pengaplikasian terhadap hasil lebih banyak (Suprijanto, 2008). Pesan hendaknya bersifat umum dan tidak terlalu spesifik mengingat pendidikan dari petani dan peternak di pedesaan mayoritas adalah Sekolah Dasar. Perlu metode komunikasi yang baik serta bahasa yang sederhana agar penjelasan lebih mudah dipahami oleh sasaran karena tidak mungkin memaksakan orang dengan pendidikan yang lebih rendah untuk memahami bahasa yang dipergunakan pada tingkat yang lebih tinggi sehingga penyuluh sebaiknya mempersiapkan bahan pembicaraan agar mudah dipahami.
5.      Sulit menerima perubahan
Arti dari sulit menerima perubahan yaitu masyarakat di desa lebih mempertahankan konsep budaya yang telah lama dipelajari dan diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang/leluhurnya, sehingga masuknya hal baru seperti teknologi masih sulit diterapkan, karena hasil yang diperoleh belum dalam bentuk nyata atau masih perlu proses lanjutan. Berbeda dengan teori yang diberikan oleh leluhurnya yang hasil dan akibat lainnya sudah diketahuinya (Rosita, 2011). Orang dewasa seolah-olah sudah yakin terhadap apa yang pernah dipelajari, sehingga cenderung untuk menolak hal-hal yang sifatnya baru. Mereka sulit menerima gagasan, konsep, metode, dan prinsip yang baru. Hal ini yang  menyebabkan mereka bertindak secara otoriter sebagai cara untuk mempertahankan diri (Asmin, 2006). Seringkali petani peternak sudah merasa cukup puas dengan hasil yang mereka terima meski terkadang usaha yang dilakukan tidak efisien. Budaya ini sulit dirubah karena sudah menjadi kebiasaan dan mereka takut apabila dirubah justru akan mengalami kerugian. Oleh karena itu sebagai penyuluh perlu memberikan bukti konkret dan pendampingan yang berkelanjutan agar kebiasaan lama yang kurang efisien dapat dikikis dan masyarakat dapat menerima perubahan yang lebih baik.

                                                                                                                     V.            CIRI DAN PRINSIP BELAJAR

5.1.         Ciri – Ciri Belajar
Belajar adalah kegiatan menimba ilmu yang dilakukan oleh manusia sejak dilahirkan hingga ke liang lahat demi menunjang kehidupan manusia dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada. Kegiatan belajar memiliki berbagai ciri dan prinsip yang harus dipahami oleh penyuluh. Menurut Suprianto (2008) orang dewasa cenderung mempunyai perspektif untuk secepatnya mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari. Implikasi a) Pendidik berperan sebagai pemberi bantuan kepada pelajar dewasa bukan sebagai guru yang mengajar materi b) Kurikulum POD tidak berorientasi pada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasi pada masalah c) Karena orang dewasa berorientasi pada masalah maka pengalaman belajar yang dirancang didasarkan pada masalah dan hal yang menjadi bahan perhatian mereka juga. Secara umum ciri-ciri belajar yaitu:
a.      Belajar Adalah Proses Aktif
Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup bila proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai sasaran belajar setelah proses pembelajaran berlangsung. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa. Pembelajaran yang aktif dan menyenangkan ditandai dengan besarnya perhatian siswa terhadap tugas sehingga hasil belajar (tujuan pembelajaran) meningkat. Selain itu dalam jangka panjang diharapkan sasaran belajar menjadi senang belajar untuk menciptakan sikap belajar mandiri sepanjang hayat (Jasmadi, 2010). Walau telah menghabiskan ribuan jam belajar, kita hanya tahu sedikit tentang belajar efektif. Tidak ada jalan pintas untuk cepat mengerti, tetapi partisipasi aktif dalam proses belajar mengajar dapat membuat belajar menjadi efektif (Olivia, 2011). Sifat pasif membuat sasaran belajar mudah terkontaminasi pada pemikiran – pemikiran lain yang melintas di benaknya dan tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Jika sasaran memaksakan belajar, maka dirinya seperti menghadapi benang kusut, tidak tahu harus berpikir bagaimana. Karena itu, timbullah rasa jemu dan rasa bosan dalam belajar. Alhasil timbullah gejolak keengganan untuk belajar. Mengatasi masalah tersebut, sasaran mutlak harus bisa belajar aktif. Belajar aktif maksudnya mengarahkan, menggerakkan dan mengendalikan proses penalaran, sikap dan tindakan pada suatu tujuan penelaahan materi pelajaran secara kritis (Surya, 2010). Untuk menghilangkan kejemuan atau kemalasan dalam belajar, maka anda harus dapat belajar secara aktif dan terarah. Anda harus terlibat aktif, secara kognitif, afektif dan psikomotor dalam belajar. Musuh besar dalam belajar adalah ketidakmampuan untuk konsentrasi belajar. Hal ini disebabkan karena anda tidak mampu untuk memfokuskan atau memusatkan pikiran pada materi pelajaran. Anda cenderung belajar secara pasif atau menerimanya begitu saja apa yang disajikan tanpa berusaha untuk mengolahnya. Begitu juga tidak ada dorongan dari dalam diri anda yang menggerakkan penalaran untuk membedah pelajaran (Surya, 2009).
b.      Belajar Hanya dapat Dilakukan oleh Individu yang Belajar
Strategi belajar individual dilakukan oleh sasaran secara mandiri. Kecepatan, kelambatan dan keberhasilan pengajaran sasaran sangat ditentukan oleh kemampuan individu sasaran yang bersangkutan. Bahan pelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007). orang dewasa sebagai warga belajar selalu menginginkan segera hasil belajarnya. Hal ini orang dewasa berpartisipasi dalam pembelajaran karena merekan sedang merespon materi dan proses pembelajaran yang berhubungan dengan peran dalam kehidupannya (Sutisna, 2009). Belajar sendiri bukan hanya diartikan sebagai belajar seorang diri, tetapi belajar atas inisiatif sendiri tanpa tergantung pada dukungan atau suruhan dari orang lain. Karena belajar di sekolah atau kampus itu dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, tentu saja kegiatan belajar sendiri di rumah merupakan kegiatan belajar yang lebih penting atau lebih utama. Belajar di sekolah atau kampus itu dapat diumpamakan sebagai pembuka jalan menuju ke suatu tujuan tertentu. Agar dapat menempuh jalan tersebut, sasaran harus bisa mengusahakannya dengan belajar sendiri di rumah (Hakim, 2006). Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah kesiapan orang untuk belajar dengan tekun serta bekerja keras dan etikal tanpa putus asa. Semangat kerja keras, semangat belajar, etos kerja dan tekad bekerja secara etikal ilmiah yang belum dibangkitkan. Hal ini terjadi karena banyak yang belum memiliki lingkungan yang cukup kondusif bagi tumbuhnya semangat kerja seperti itu (Hartanto, 2009). Belajar hanya dilakukan oleh individu yang belajar dalam artian hanya yang belajar yang disebut belajar dan memahami serta merasakan manfaat kegiatan belajar tersebut, berbeda dengan mereka yang hanya mendengarkan dan kurang memperhatikan materi pembelajaran yang disampaikan sehingga mereka tidak mendapatkan manfaat apapun meskipun mereka hadir dalam kegiatan pembelajaran atau penyuluhan.
c.       Kemampuan Belajar tiap Individu tidak Sama
Meski sama – sama belajar karena motivasi teologis, kemampuan belajar setiap orang tidaklah sama sehingga meskipun terdapat kesempatan belajar yang sama akan selalu terdapat perbedaan antara peserta didik yang satu dengan yang lain menurut faktor – faktor sosio-geografis. Oleh karena itu ekualitas (persamaan kesempatan) harus dilengkapi dengan aksesibilitas bahwa setiap orang mempunyai akses yang sama terhadap pendidikan pada semua jenis, jenjang, maupun jalur pendidikan. Untuk menunjang ekualitas dan aksesibilitas tersebut maka harus ada ekuitas yang lebih menunjuk pada dimensi vertikal dari pendidikan (Roqib, 2009). Latar belakang psikologis dalam proses pendidikan, siswa sebagai subjek didik merupakan pribadi yang unik dengan segala karakteristiknya. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan kemampuan sasaran dalam menerima pelajaran yang diberikan. Kemampuan belajar pada setiap individu tidak sama. Oleh karena itu, guru / pengajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu siswa / sasaran agar berhasil dalam belajar (Aisyah, 2015). Proses belajar orang dewasa dan anak – anak tidak sama karena kemampuan orang dewasa untuk menyerap informasi bukan saja ditentukan oleh kemampuan alami untuk belajar, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti gaya hidup, emosi, fungsi fisik dan kebutuhan untuk belajar (Elsjelyn, 2014). Kelemahan sistem pendidikan di Indonesia, seringkali mengkondisikan sasaran tidak menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadikan dirinya sesuai keinginan guru / pengajar. Guru harus memperlakukan anak dalam pembelajaran agar anak menjadi dirinya sendiri, sesuai potensinya. Menyamaratakan potensi anak sama artinya dengan mengkebiri potensi anak. Pembelajaran harus mempelajari potensi anak yang berbeda (Suardi, 2015). Kemampuan belajar tiap individu tidak sama sehingga sebagai pengajar atau penyuluh tidak dapat menetapkan target hasil belajar yang sama.
d.      Proses Belajar Dipengaruhi oleh Pengalaman
Proses belajar dipengaruhi oleh pengalamannya orang dewasa memiliki segudang pengalaman lain yang menjadi modal utama yang berbeda-beda pada setiap individu warga belajar, yang diraih dalam lingkungan kehidupannya, terutama lingkungan keluarga dan masyarakat luas (Sutisna,2009). Pengalaman merupakan sumber terkaya dalam pembelajaran sehingga orang dewasa semakin kaya akan pengalaman dan termotivasi untuk melakukan upaya peningkatan hidup. Dengan belajar orang dewasa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi, sehingga belajar bagi orang dewasa lebih fokus pada peningkatan pengalaman hidup tidak hanya pada pencarian ijazah saja (Mintono, 2013). Cervone dan Pervin (2012) menyatakan orang dewasa lebih suka pada hal yang bersifat pengalaman karena mereka memliki ketahanan psikologis. Ketahanan psikologis tersebut disebabkan karena meningkatnya kebijaksanaan pribadi walaupun mungkin terjadi penurunan kognitif. Menurut Bambang (2010), peranan pengalaman asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru.
e.       Proses Belajar Dipengaruhi oleh Kebutuhan yang Dirasakan
Menurut Kamil (2010) Need (kebutuhan) merupakan prinsip dasar yang maksudnya adalah memberi kejelasan kepada peserta didik agar memahami dan mengerti, pengetahuan dan keterampilan apa yang mereka ingin peroleh dari sebuah kegiatan pendidikan. Menurut Aisyah (2015), dalam pandangan psikologis yang disebut belajar adalah mencakup aspek perubahan tingkah laku peserta didik sebagai hasil dari perubahan interaksi  dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Herijulianti (2006) dalam kegiatan belajar seorang pendidik harus memikirkan bagaimana menciptakan kondisi agar peserta didik aktif dalam kegiatan belajar. Untuk dapat belajar dengan baik di perlukan proses dan motivasi yang baik, memberikan motivasi kepada peserta didik berarti menggerakkan peserta didik agar ia mau atau ingin melakukan sesuatu. Seseorang akan terdorong untuk melakukan sesuatu apabila ia merasa ada suatu kebutuhan dan ingin memenhi kebutuhannya. Faktor kebutuhan dapat dijadikan salah satu motivasi dari dalam individu untuk berprestasi. Meningkatkan rasa kebutuhan terhadap sesuatu untuk mendapatkan prestasi dapat mendorong seseorang untuk  meraihnya. Lingkungan yang kondusif mampu meningkatkan motivasi berprestasi seseorang. Lingkungan yang kondusif merupakan faktor dorongan dari luar, dapat berupa dorongan yang diberikan pendidik kepada peserta didik, fasilitas yang menunjang kegiatan belajar sehingga mampu menumbuhkan rasa ketertarikan individu dalam belajar, atau bahkan pemberian penghargaan (reward and punishment) kepada indvidu (Winarno, 2012). Menurut Hamzah (2008), indikator motivasi berprestasi yaitu danya hasrat dan keinginan berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, adanya lingkungan belajar dan kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik.
f.       Proses Belajar Dipengaruhi  oleh Hasil Belajar yang Pernah Diraih
Tingkah laku murid atau siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa semua tingkah laku adalah merupakan hasil belajar (Wasty, 2006). Menurut Sutisna (2009) orang dewasa sebagai warga belajar selalu menginginkan segera hasil belajarnya. Hal ini orang dewasa berpartisipasi dalam pembelajaran karena merekan sedang merespon materi dan proses pembelajaran yang berhubungan dengan peran dalam kehidupannya. Menurut Djiwandono (2010), hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa dan juga meninjau proses belajar menuju ke hasil belajar dan langkah - langkah instruksional yang dapat diambil oleh pemberi materi dalam membantu individu belajar. Hasil belajar dapat dimasukkan dalam lima kategori dalam merencanakan tujuan instruksional dan penilaian, yaitu: Informasi verbal; Kemahiran intelektual; Diskriminasi; Konsep konkret; dan Konsep yang didefiniskan. Belajar merupakan hasil serentetan stimulan dan respon dan proses belajar akan dipengaruhi oleh frekuensi pengontrolan (Farisi, 2007). Hasil belajar yang pernah diraih berpengaruh terhadap proses belajar karena hasil belajar yang baik dapat menjadi motivasi bagi kegiatan belajar kedepannya, namun jika hasil sebelumnya kurang baik dapat menjadi penghambat pembelajaran.
g.      Proses Belajar Dipengaruhi oleh Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar merupakan bagian dari proses belajar yang menciptakan tujuan belajar. Lingkungan belajar tidaklah lepas dari keberadaan siswa dalam belajar. Kebiasaan belajar siswa dipengaruhi oleh kebiasaan siswa dalam belajar di sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Kebiasaan belajar yang efektif berdampak pada lingkungan belajarnya. Lingkungan belajar yang baik harus diikuti dengan penguatan yang diberikan oleh guru dengan maksimal pula (Winarno, 2012). Jika kita perhatikan dan pelajari proses perkembangan di dalam diri anak untuk menjadi orang atau menjadi dewasa sesuai dengan tingkat kematangannya, proses – proses perkembangan anak tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Pada permulaannya, jiwa anak itu adalah bersih, bagaikan selembar kertas putih yang kemudian sedikit demi sedikit terisi oleh pengalaman atau empiri. Dengan kata lain, akan menjadi apa anak tersebut bergantung pada lingkungannya yang memberi warna pada kertas putih tersebut (Surya, 2010). Manusia pada dasarnya berpotensi untuk dipengaruhi lingkungan khususnya 5 tahun pertama kehidupannya. Kita menjadi diri kita sekarang ini adalah karena pembentukan lingkungan semasa kita kecil. Lingkungan disini adalah lingkungan keluarga, sekolah, teman – teman atau tetangga yang dikategorikan tempat anak bersosialisasi. Pada saat anak berinteraksi dengan lingkungannya, lingkungan akan mencoba untuk membentuk seorang anak sehingga nilai dasar yang dimiliki seseorang tidak lagi menjadi acuan dari perkembangan seorang anak (Lucy, 2016). Lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sekolah merupakan dua tempat utama yang digunakan oleh seorang anak untuk melakukan aktivitas. Sekolah merupakan tempat anak belajar, berkreasi, bersosialisasi dan bermain sehingga tidak mengherankan banyak waktu yang dihabiskan di sekolah. Lingkungan yang sehat akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak (Efendi, 2009).
2.      Prinsip – Prinsip Belajar
Prinsip Belajar adalah suatu hubungan yang terjadi antara peserta didik dengan pendidik agar siswa mendapat motivasi belajar yang berguna bagi dirinya sendiri. Prinsip belajar dapat digunakan sebagai landasan berfikir, landasan berpijak, dan sumber motivasi agar proses belajar dan pembelajaran dapat berjalan dengan baik antara pendidik dan peserta didik (Pannen dan Malati, 2006). Prinsip Belajar adalah landasan berpikir, landasan berpijak, dan sumber motivasi agar Proses Belajar dan Pembelajaran dapat berjalan dengan baik antara pendidik dengan peserta didik (Baharuddin dan Wahyuni, 2007). Prinsip – prinsip belajar yaitu:
a.      Prinsip Latihan
Prinsip Latihan (practice), yaitu proses belajar yang dibarengi dengan latihan atau aktivitas fisik untuk lebih merangsang kegiatan anggota badan (kaki, tangan, dll). Atau belajar sambil melakukan kegiatan yang dialami sendiri oleh warga belajar (Tukiran, 2011). Latihan merupakan suatu kegiatan yang sistematis dalam waktu yang panjang, ditingkatkan secara bertahap dan perorangan, bertujuan membentuk manusia yang berfungsi fisiologis dan psikologisnya untuk memenuhi tuntutan tugas (Nugroho, 2008). Prinsip latihan (praktik), ketika kita telah menerima materi dan melakukan aktifitas yang konkrit dan juga yang tidak nyata seperti aktifitas penggunaan indera, susunan syaraf dan pusat susunan syaraf. Pelajar akan terdorong untuk mengaplikasikan ilmu yang ia terima sebelumnya. Hal ini akan mempercepat perkembangan dan perubahan kualitas pelajar (Suryadibrata, 2009). Prinsip latihan ini dilandasi oleh pemahaman bahwa hasil belajar seseorang akan labih baik jika warga belajar mengalaminya langsung.  Prinsip latihan harus dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pada peserta didik (Azzaini, 2013).
b.      Prinsip Menghubung – Hubungkan
Prinsip hubungan, kejadian atau pengalaman dimasa lampau dapat dijadikan pedoman untuk meramalkan akibat atau hasil yang akan mungkin akan terjadi dari suatu proses. Menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman terdahulu (Sardiman, 2009). Prinsip hubungan, kejadian atau pengalaman dimasa lampau dapat dijadikan pedoman untuk meramalkan akibat atau hasil yang akan mungkin akan terjadi dari suatu proses. Menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman terdahulu. Menurut Ridwan (2009), bahwa dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan. Pengalaman tersebut merupakan sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Menurut Moeis (2008), prinsip menghubung-hubungkan (association), yaitu proses belajar dengan cara menghubung-hubungkan perilaku lama (terutama sikap dan pengetahuan atau perasaan dan pikiran dengan stimulus-stimulus baru. Dalam proses belajar seperti ini, stimulus (baru) yang memiliki kemiripan dan kaitan erat (berurutan) dengan perilaku yang telah dimiliki, akan semakin mudah diterima dan dipahami. Sebaliknya, stimulus yang tidak memiliki kaitan atau bahkan bertentangan dengan pengalaman yang telah dimiliki akan semakin sulit dipahami dan diterima. Belajar membentuk rangkaian, yaitu belajar menghubung – hubungkan gejala atau faktor yang satu dengan yang lain sehingga menjadi satu kesatuan (rangkaian) yang berarti (Saroya, 2014).
c.       Prinsip Akibat
Setiap program pendidikan, para pendidik harus terlebih dahulu dapat menunjukkan tujuan dan manfaat kepada peserta didiknya setelah mengikuti program belajar tersebut (Trianto, 2010). Belajar menurut Suprijono (2009) adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Pengertian dampak adalah pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. Belajar dapat difinisikan sebagai perubahan yang sedang terjadi/ dialami atau hasil yang telah diperoleh yang menyebabkan individu berubah dari keadaan semula ke keadaan yang baru yang sifatnya kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi (Hidayat, 2006). Belajar merupakan proses yang dilakukan seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya, untuk memperoleh tingkah laku yang lebih baik secara keseluruhan akibat interaksinya dengan lingkungannya (Rachmi, 2010).
d.      Prinsip Kesiapan
Menurut Slamet (2010) Kesiapan adalah keseluruhan kondisi yang membuatnya siap untuk memberi respon atau jawaban di dalam cara tertentu terhadap suatu situasi. Menurut Lunadi (2006) Kesiapan adalah kondisi dalam diri individu yang mendorong seseorang berbuat (belajar). Kesiapan berkaitan dengan minat. Orang yang memiliki minat terhadap sesuatu akan tumbuh motivasi untuk mempelajari seseuatu itu. Motivasi dapat bersifat internal yaitu datang dari diri sendiri dan bersifat eksternal yaitu motivasi tumbuh karena pengaruh dari luar. Menurut Suryadibrata (2009) Dengan adanya kesiapan mental dan fisik diharapkan pelajar dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada materi yang sedang dihadapi. Prinsip kesiapan menjamin kesiapan mental maupun kesiapan fisik dari pelajar untuk dapat melakukan kegiatan pembelajaran. Orang dewasa tidak akan dapat melakukan kegiatan pembelajaran manakala dirinya belum siap untuk melakukannya, apakah itu karena belum siap fisiknya atau belum siap mentalnya (Padmowiharjo, 2006).

                                                                             VI.           
FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS BELAJAR

Faktor psikologi adalah faktor yang berhubungan dengan kejiwaan obyek. Terutama dalam hal ini adalah motivasi apa yang mendasari seseorang untuk belajar. Semakin besar semangat untuk belajar maka semakin bear hasil yang didapat, begitu pula sebaliknya, semakin terpaksa maka semakin sulit untuk belajar. Kondisi perasaan juga turut menetukan. Apakah pada saat belajar dia sedang kalut, cemas, ceria ataukah datar-datar saja, itu juga mempengaruhi belajar (Karimi, 2012). Penyuluhan bertujuan untuk mengubah perilaku (sikap, pengetahuan dan keterampilan) petani. Mengubah perilaku merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit yang memerlukan banyak energi menuju komunikasi yang efektif agar perubahan perilaku tersebut dapat terwujud (Yulida, 2012).

 1.            Tujuan Belajar
Sadar akan indikator (tujuan) belajar membuat proses belajar menjadi terarah dan terpusat pada pencapaian target yang dikehendaki. Begitu juga, keluasaan dan kedalaman belajar dapat direncanakan terlebih dahulu. Hakikatnya, indikator (tujuan) belajar adalah rumusan kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki setelah menempuh proses pembeelajaran (Surya, 2009). Suardi (2015) menjelaskan bahwa learning system menyangkut pengorganisasian dari perpaduan antara manusia, pengalaman belajar, fasilitas, pemeliharaan atau pengontrolan, dan prosedur yang mengatur interaksi perilaku pembelajaran untuk mencapai tujuan, sedangkan dalam teaching system, komponen perencanaan mengajar, bahan ajar, tujuan, materi dan metode serta penilaian dan langkah mengajar akan berhubungan dengan aktivitas belajar untuk mencapai tujuan. Menurut Darmayanti (2008) tujuan pendidikan secara umum adalah menghasilkan manusia yang mampu mandiri secara intelektual. Kemandirian secara intelektual yang menjadi tujuan pendidikan dapat dicapai melalui berbagai modus pendidikan, yang salah satunya adalah melalui pendidikan jarak jauh. Tujuan terdiri atas 3 macam yaitu sekedar ingin tahu, pemenuhan kebutuhan jangka pendek, dan pemenuhan kebutuhan jangka panjang. Dengan belajar seseorang akan mengalami perubahan perilaku dalam bentuk pengetahuan, keterampilan nilai, dan sikap tertentu. Perubahan perilaku yang terjadi merupakan akibat dari proses pembelajaran pada diri seseorang. Proses yang dimaksud adalah aktivitas yang dilakukan individu dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pencapaian tujuan pembelajaran itu kemudian dapat dinyatakan sebagai hasil belajar (Tahar dan Enceng, 2006 ).

 2.            Tingkat Aspirasi
Aspirasi adalah cita-cita atau tuntutan kearah perbaikan. Tingkat aspirasi merupakan tujuan spesifik yang ditetapkan siswa untuk dicapainya (Elmirawati, 2013). Hughes (2012) mengungkapkan bahwa proses belajar yang dilakukan oleh individu, juga dipengaruhi oleh aspirasi (cita-cita) yang diharapkan oleh yang bersangkutan. Rola (2006) menjelaskan bahwa individu yang memiliki motivasi belajar mempunyai ciri-ciri yaitu individu mampu berorientasi pada tugas dan menyukai tugas-tugas yang menentang kemampuan dimana penampilan individu pada tugas tersebut dapat di evaluasi. Sebagian besar petani kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilaku karena perubahan yang diharapkan berbenturan dengan motivasi yang lain. Kadang-kadang penyuluhan dapat mengatasi hal demikian dengan membantu petani mempertimbangkan kembali motivasi mereka. Petani kurang dimotivasi berusaha untuk merubah cara-cara tradisional kearah modernisasi (Setiawan, 2006).

 3.            Pengertian Tentang hal yang Dipelajari
Menurut Juneman (2006) orang dewasa cenderung berpikir praktis dan bila dihadapkan dengan materi yang cukup sulit maka seakan mereka dipaksa untuk berpikir keras mengenai suatu hal. Maka keinginan untuk belajar dapat menurun karena berkaitan dengan minat. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka para penyuluh harus mampu memberikan penyuluhan yang sifatnya mendorong kepada masyarakat agar mereka tergugah dan ingin melaksanakan, untuk pelaksanaannya diperlukan teknik penerangan yang disesuaikan dengan kondisi daerah dan bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh para lanjut usia (Ardianti, 2006).. Menurut Ismiyati (2010) tahu merupakan tingkat pengetahuan yang rendah. Tahu artinya dapat mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan dan menyatakan sedangkan paham sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa, tingkat pengertian seseorang terhadap sesuatu yang dipelajari akan sangat menentukan tingkat kesepiannya untuk belajar.

 4.            Pengetahuan Tentang Keberhasilan dan Kegagalan
Menurut Yasin (2012) setiap orang ingin menjadi yang terbaik sehingga pasti menginginkan keberhasilan dan mencegah kegagalan seminimal mungkin. Kesadaran tersebut mendorong peserta didik untuk terus belajar dalam rangka meraih keberhasilannya dan meninggalkan kegagalannya.  Djamarah (2006) mengemukakan bahwa indikator keberhasilan belajar, di antaranya yaitu: (1) daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok, dan (2) perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus (TIK) telah dicapai oleh peserta didik, baik secara individual maupun kelompok. Keberhasilan penyuluhan pertanian seeringkali masih rendah karena pelaksanaan penyuluhan tidak diikuti dengan program magang, anjang karya, atau kunjungan lapangan ke usaha peternakan yang telah berhasil sebagai upaya membuka akses informasi kepada pihak-pihak yang telah berhasil dalam usaha sapi perah juga untuk lebih mengingatkan peternak kepada materi penyuluhan serta menumbuhkan motivasi peternak (Muatip dkk., 2008). Sujarwo (2006) menyatakan bahwa semangat belajar seseorang, juga dipengaruhi oleh pengetahuannya tentang keberhasilan dan kegagalan. Tentang hal tersebut, jika seseorang memiliki pengetahuan bahwa keberhasilan hanya dapat dicapai melalui proses belajar, maka ia akan memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga hasil belajar yang dicapainya juga semakin baik.
 5.            Umur
Menurut Feldman (2012), mengemukakan bahwa pengetrap ini mengalami penuaan fisik karena rata – rata sudah berumur 40 tahunan (masa dewasa akhir). Pada masa dewasa akhir ini seseorang cenderung menerima orang lain dan kehidupan mereka sendiri serta tidak terlalu memedulikan mengenai masalah – masalah yang mengganggu mereka. Disisi lain sebagian mereka juga mengalami krisis paruh baya. Semakin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut (Saridewi dan Siregar, 2010). Pada umur produktif (20-40 tahun) umumnya peternak akan cukup aktif di dalam melaksanakan usaha ternaknya. Pada usia produktif, peluang untuk diterimanya inovasi oleh para responden tergolong tinggi. Semakin muda umur seseorang, dan ada dalam usia yang produktif akan lebih responsif dalam menerima inovasi dibandingkan dengan orang yang telah lanjut (Yunasaf dan Tasripin, 2011). Menurut Fathoni dan Riyana (2009) Apabila perbedaan usia peserta didik terlampau jauh maka cenderung timbul diskriminatif diantara peserta didik dan kerendahdirian yang dapat menghambat tercapainya kondisi belajar yang diharapkan. umur merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan berpengaruh terhadap minatnya terhadap macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar (Mardikanto, 2009). Menurut Suprayogi (2006) langkah yang sebaiknya dilakukan oleh penyuluh dalam membantu warga belajar usia lanjut yang berhubungan dengan menghafal dan nalar yaitu pertama dalam menyampaikan suatu informasi harus jelas dan mengaitkan pelajaran dengan pelajaran yang terdahulu yang mereka peroleh. Kedua penyampaian ilmu itu diinformasikan oleh orang yang ahli dalam bidangnya. Ketiga penyajian suatu topik hendaknya disampaikan pada satu kesempatan dan diberikan evaluasi secara langsung untuk memperkuat daya nalar.

 6.            Kapasitas Belajar
Kapasitas belajar setiap individu berbeda-beda tergantung pada umur, jenis, kelamin, keadaan psikis, genetik (mesinkecerdasan yang dominan pada otak), banyaknya stimulus yang diterima dan ketahanan serta tingkat konsentrasi (King, 2010). Kapasitas belajar merupakan kemampuan atau daya tampung seseorang untuk menerima rangsangan-rangsangan atau pengalaman-pengalaman baru (Mardikanto, 2009). Kapasitas belajar ini dipengaruhi oleh kedaan fisik (jenis kelamin), keadaan psikis (umur, tingkat pendidikan) dan lingkungan sosial (sosial budaya masyarakat). kegiatan belajar yang memerlukan otot yang berat, kapasitas pria umumnya lebih baik. Sebaliknya untuk belajar yang memperlukan ketelitian dan kesabaran, perempuan memiliki kapasitas yang lebih baik. Salah satu program pemberdayaan dengan menekankan peningkatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan melalui skill empowerment, yaitu suatu program perumusan perumusan model pelatihan ketrampilan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Emawati dkk., 2012).
Menurut Herlina (2010) orang yang memiliki kemampuan tinggi, bila disertai usaha yang memadai, bisa berharap akan dapat mencapai tujuan belajar dengan lebih baik dibandingkan dengan orang yang kemampuannya lebih rendah. Sapar (2012) menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas belajar tidak hanya ditujukan bagi petani/ peternak yang disuluh melainkan juga bagi penyuluh itu sendiri. Kemampuan penyuluh harus selalu ditingkatkan agar mampu membantu petani/ peternak menyelesaikan permasalahan yang semakin kompleks yang harus mereka hadapi. Seorang penyuluh pertanian harus terus menerus menambah input berupa pengetahuan akan ilmu-ilmu penyuluhan terkini lewat pelatihan atau seminar-seminar, karya tulis atau karya ilmiah dan buku-buku yang dapat meningkatkan kapasitas penyuluh pertanian itu sendiri.

 7.            Bakat
Dalyono (2010) menyatakan bahwa “bakat adalah suatu kondisi pada seseorang yang memungkinkannya dengan suatu latihan khusus mencapai suatu kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan khusus, misalnya: berupa kemampuan berbahasa, kemampuan bermain musik, dan lain sebagainya”. Dalam hal ini seseorang yang berbakat musik, misalnya, dengan latihan yang sama dengan orang lain yang tidak berbakat musik, akan lebih cepat menguasai keterampilan musik tersebut. Bakat biasanya ditentukan oleh mesin kecerdassan yang dominan yaitu sensing (memori), thinking (analitis), intuiting (imajinasi), feeling (emosi) dan insting (naluri) dimana masing-masing darinya terdapat pada belahan otak limbik kiri, neokortek kiri, neokortek kanan dan limbik kanan (Poniman, 2011). Menurut Mardikanto (2009) bakat merupakan faktor bawaan (hereditas) yang akan mempengaruhi proses belajar seseorang terutama untuk bidang-bidang tertentu. Dengan kata lain, bakat (potensi) yang ada dalam diri seseorang hanya akan kelihatan apabila dia memperoleh kesempatan dari stimulus yang memadai. Bakat merupakan kemampuan dari dalam yang dimiliki oleh mahasiswa, mahasiswa yang berbakat akan memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang kurang berbakat, jika bahan yang dipelajari sesuai dengan bakat mahasiswa maka prestasi belajar akan lebih baik karena mahasiswa yang bersangkutan akan lebih giat belajarnya (Riyani, 2012). Bakat (aptitude) secara umum adalah sebagai kemampuan bawaan seseorang yang merupakan suatu potensi. Potensi ini masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Latihan-latihan disini bukan hanya sekedar latihan biasa dan sembarangan, tetapi merupakan kegiatan yang dapat mendukung terhadap perkembangan bakat seseorang (Dewi, 2009).

KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
1.      Agar tujuan penyuluhan tercapai, seorang penyuluh hendaknya memahami prinsip – prinsip dalam metode penyuluhan. 
2.      Kedinamisan kelompok masyarakat desa disebabkan dalam suatu kelompok terdiri dari berbagai macam orang dengan jenis kelamin, umur, pekerjaan, maupun sifat yang berbeda – beda.
3.      Pendidikan Orang Dewasa (POD) adalah proses pendidikan yang diorganisasikan isi atau pesannya, metode penyampaiannya maupun pelaksanaan di lapangan, dengan tujuan akhir terjadi perubahan perilaku, baik dalam pengetahuan, sikap, keterampilan, maupun secara material.
4.      Belajar perlu memperhatikan ciri – ciri dan prinsip belajar dengan tujuan agar kegiatan belajar / penyuluhan tersebut menjadi terarah dan tujuan yang ditetapkan menjadi tercapai.
5.      Faktor psikologi adalah faktor yang berhubungan dengan kejiwaan ubyek. Terutama dalam hal ini adalah motivasi apa yang mendasari seseorang untuk belajar. Semakin besar semangat untuk belajar maka semakin bear hasil yang didapat.
B.  Saran
Seluruh pembahasan tersebut alangkah baiknya dipahami untuk selanjutnya diaplikasikan agar tercipta kegiatan penyuluhan yang berkualitas.


DAFTAR PUSTAKA



Adinugroho, Wahyu Catur., dkk. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.

Afrizon. R, Ratnawulan, Ahmad Fauzi. 2012. Peningkatan Perilaku Berkarakter Dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Kelas Ix Mtsn Model Padang Pada Mata Pelajaran. Universitas Negeri Padang.

Aisyah, Siti. 2015. Perkembangan Peserta Didik dan Bimbingan Belajar. Deepublish. Yogyakarta.

Albin. 2010. Emosi, Bagaimana mengenal, menerima dan mengarahkannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Andarwati, Siti, dkk. 2012. “Dinamika Kelompok Peternak Sapi Potong Binaan Universitas Gadjah Mada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Sains Peternakan Vol. 10 No. 1: hal 39-46. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Ardianti, I. S. 2006. Upaya Kelompok Kerja (Pokja) Bina Lansia Dalam Meningkatkan Kesehatan Para Lansia. Jurnal Ilmiah. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.


Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Direktorat Jenderal Pendidkan Islam. Kementerian Agama. Jakarta.

Asmin. 2006. Konsep dan Metode Pembelajaran untuk Orang Dewasa (Andragogi). Unimed. Medan.

Astuti, Aini Nur. 2010. “Analisis Efektivitas Kelompok Tani Di Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo”, Skripsi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Azhar. 2010. “Kepuasan Kerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor”. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol 05. No 01.

Azzaini, J. 2013. ON. Mizan Pustaka. Bandung.

Baharuddin dan Wahyuni, N. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Ar-Ruzz Media Group . Yogyakarta.

Bambang, S dan Luqman. 2010. Kelemahan Dan Keunggulan Teori Belajar Andragogi. Jurnal Teknologi Pembelajaran. Vol 01. No  1.

Bambang. 2010. “Kelemahan Dan Keunggulan Teori Belajar Andragogi”. Jurnal Teknologi Pembelajaran.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Budiarta, I Wayan. 2014. “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Intelektual dengan Prestasi Belajar Ipa Kelas V Desa Pengeragoan”. e-Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha.

Budiarto, 2010. Dinamika Kelompok. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Budiharsono, Suyuti S. 2004. Politik Komunikasi. Grasindo. Jakarta.

Cervone, Daniel dan Lawrence A. Pervin. 2012. Kepribadian : Teori dan   Penelitian. Edisi 10 Buku ke-2. Penerjemah Aliya Tusyani, Evelyn Ridha       Manulu, Lala S.S, Petty G.G, Putri N.S. Salemba Humanika. Jakarta.

Cervone, Daniel dan Lawrence A. Pervin. 2012. Kepribadian : Teori dan Penelitian Edisi 10 Buku ke-2. Salemba Humanika. Jakarta.
Dalyono. 2010. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.

Darmayanti, Tri. 2008. “Efektivitas Intervensi Keterampilan Self-Regulated Learning dan Keteladanan dalam Meningkatkan Kemampuan Belajar Mandiri dan Prestasi Belajar Mahasiswa Pendidikan Jarak Jauh”. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. Vol. 9. No. 2.

Dewi, Indriyani. 2009. “Peningkatan Hasil Belajar Matematika Statistik melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Siswa Kelas XII”. Jurnal Widiyatama. Vol 6 No. 1.

Diniyati, D. 2009. “Dinamika Kelompok Tani Hutan Rakyat: Studi kasus di Desa Kertayasa, Bojadan Sukorejo”. Jurnal Sosial Ekonomi. Vol. 1 No. 5

Djamarah, Syaiful Bahri. 2006. Guru Dan Anak Didik. PT. Asdi Mahastya. Jakarta.

Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.

Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi, teori dan praktek. Remaja Roda Karya. Bandung.

Eliizabeth, R. 2007. Fenomena sosiologis metamorphosis petani:ke arah keberpihakan pada masyarakat petani di pedesaan yang terpinggirkan terkait konsep ekonomi kerakyatan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 25 No. 1. 29-42.Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Elmirawati, 2013. Hubungan Antara Aspirasi Siswa Dan Dukungan Orangtua Dengan Motivasi Belajar Serta Implikasinya Terhadap Bimbingan Konseling. Jurnal Ilmiah Konseling. Vol. 2. No. 1.

Elsjelyn, Evelyn Rientje. 2014. English Made Easy: Kunci Sukses Belajar Bahasa Inggris. Kesaint Blanc. Jakarta.

Emawati, S., Lutojo, H. Irianto, E.T. Rahayu, dan A.I. Sari. 2012. Efektivitas Model Pelatihan Keterampilan berbasis Usaha Pertanian-Peternakan Terpadu Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Sains Peternakan. Vol. 10 (2): 85-92.

Ermiati, C dan Teridah Sembiring, 2012, “Pengaruh Fasilitas dan Pengembangan Sumber Daya manusia Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan : Studi Kasus PTPN II Kebun Sampali Medan”. Jurnal Darma Agung, Vol.1

Eryanto, Henry dan Darma Rika. 2013. Pengaruh Modal Budaya, Tingkat  Pendidikan Orang Tua dan Tingkat Pendapatan Orang Tua terhadap         Prestasi Akademik pada Mahapeserta didik Fakultas Ekonomi            Universitas      Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.        1(1) : 39 – 61. Maret.

Fachry, Mardiana E dan Amalia Pertamasari. 2011. “Analisis Efektifitas Metode Penyuluhan pada Masyarakat Pesisir di kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan”. Jurnal Agribisnis. Vol 10. No 03.

Far Far., R.A. 2011. “Respon Petani Terhadap Penerapan Metode Penyuluh Pertanian di Kota Ambon Provinsi Maluku”. Jurnal Budidaya Pertanian. Vol 10. No 01: 48-51.

Fathoni, T. & Riyana, C., 2009. Komponen Pembelajaran. Citra Aditya Bakti. Bandung.
\
Fauzi, Ahmad. 2010. Psikologi Umum, Pustaka Setia. Bandung.

Feldman, Robert S. 2012. Pengantar Psikologi edisi ke-10 buku ke-1. Penerjemah Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan. Salemba Humanika. Jakarta.

Feldman, Robert S. 2012. Pengantar Psikologi. Edisi ke-10 buku ke-2.       Penerjemah Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan. Salemba Humanika. Jakarta.

Gunarsa, Singgih D., dan Ny. Singgih D. Gunarsa. 2008. Psikologi Perawatan Cetakan ke 5. Gunung Mulia. Jakarta.

Gunarya, Arlina. 2012. Model perilaku belajar. TOT Basic Study Skills.

Hakim, Thursan. 2006. Belajar Secara Efektif. Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.

Hamida, K. 2012. “Penyuluhan Gizi dengan Media Komik untuk Meningkatkan Pengetahuan Tentang Keamanan Makanan Jajanan”. Jurnal Kesehatan Masyarakat vol 01: 67-73.

Hamzah, B. U. 2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis Dibidang Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Hardjana, Agus M. 2000. Landasan Etika Profesi. Kanisius. Yogyakarta.

Hariono, Firman., Urdha Nirwasita dan Salma Nurhayati. 2016. Panduan Resmi Psikotes. Bintang Wahyu. Jakarta.

Hartanto, Frans Mardi. 2009. Paradigma Baru Manajemen Indonesia: Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani. Mizan Pustaka. Bandung.

Hartanto, Frans Mardi. 2009. Paradigma Baru Manajemen Indonesia: Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani. Mizan Pustaka. Bandung.

Herijulianti, Eliza., Tati Svasti Indriani dan Sri Artini. 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi. EGC. Jakarta.

Herliana. 2011. Kompetensi Pelatih Dalam Pengembangan Profesional. Widya Iswara LPMP Aceh. Aceh.

Herlina, Psi. 2010. Belajar yang Efektif Psikologi pendidikan. FIP. UPI.

Hidayat, Samsul., Widyaswara, Madya. 2006. Psikologi Pendidikan. Study Pustaka. Jakarta.

Hubeis, A. V. 2007. Pengaruh Desain Pesan Video Intruksional Terhadap Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang Pupuk Agrodyke. Jurnal Agro Ekonomi. 25-1. Departemen Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat. Fema IPB.

Hubeis, Aida Vitalaya. 2007. “Motivasi, Kepuasan Kerja dan Produktivitas Penyuluh Pertanian Lapangan: Kasus Kabupaten Sukabumi”. Jurnal Penyuluhan. Vol 03. No 02.

Hughes, Richard, Robert C. Ginnett, dan Gordon J. Curphy. 2012. Leadership:Memperkaya Pelajaran dari Pengalaman edisi 7. diterjemahkan oleh Putri Iva Izzati. Salemba Humanika. Jakarta.

Huraerah,abu dan Purwanto. 2006. Dinamika Kelompok: Konsep dan Aplikasi, Refika Aditama. Bandung.

Ibrahim, T. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayumedia Publishing dan UMM Press. Malang.

Indraningsih, Kurnia Suci. 2011. “Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usaha Tani Terpadu”. Jurnal Agro Ekonomi. Vol 29. No 01.

Indrayana, Stefanus dan Goenardjoadi Goenawan. 2007. Best Life: Menjalani Hidup Bahagia Penuh Makna. Gramedia. Jakarta.

Irawati, Nisrul. 2011. “Kepemimpinan Efektif, Kepemimpinan yang Mampu Mengambil Keputusan yang Tepat”. Jurnal USU Online. Vol. 1: 3-5.

Ismiyati, Atik. 2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Menopause dengan Kesiapan Menghadapi Menopause Pada Ibu Premenopause di Perumahan Sewon Asri Yogyakarta. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Jasmadi. 2010. PAKEMATIK: Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis TIK. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Jayanti, N. D. 2014. “Peran Reward dan Punishment dalam Rangka Peningkatan Produktivitas kerjaPegawai pada Bank (Stusi pada PT. Bank Rakyat Indonesian Cabang Malang”. Jurnal Ilmiah. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya. Malang.

Juneman, e. a., 2006. Psikobuana- Jurnal Ilmiah Psikologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kamil, Mustofa, 2010. Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Alfabeta. Bandung.

Karimi, Ahmad Faizin. 2012. Think Different; Jejak Pikir Reflektif Seputar Intelektualitas, Humanitas dan Intelektualitas. Muhi Press. Gresik.

Kartakusumah, Berliana. 2006. Pemimpin Adiluhung: Genealogi Kepemimpinan Kontemporer. Penerbit Teraju. Jakarta.

Kartono, J.C.Widyo. 1992. Mendengarkan Secara Positif. Gunung Mulia. Jakarta.

Kasali, Rhenald. 2007. Manajemen Periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.

King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandang Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.

King, Laura A. 2010. Psikologi Umum: Sebuah Pandang Apresiatif. Salemba Humanika. Jakarta.

Kusai, dkk. 2013. “Dinamika Kelompok Peudidaya Ikan “Mawar” di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara”. Jurnal Berkala Perikanan Terubuk Vol. 41. No. 1, hal: 25-36. Universitas Riau Pekanbaru.

Kusnadi. 2011. Budaya Masyarakat Nelayan. Humaniora Utama. Bandung.

Leilani. 2006. Kinerja Penyuluh Pertanian. IPB. Bogor

Lestari, Mugi. 2011. “Dinamika Kelompok dan Kemandirian Anggota Kelompok Tani Dalam Berusahatani di Kecamatan Pocowarno Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah”. Tesis. Universitas Sebelas Maret.

Lucy. 2016. Panduan Praktis Tes Minat & Bakat Anak. Penebar Plus+. Jakarta.

Lunandi, A. G. 2006. Pendidikan Orang Dewasa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Lupiyaoadi, Rabat. 2008. Manajemen Pemasaran Jasa. PT.Salemba Empat. Jakarta.

Mardikanto, T. 2009. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press: Surakarta.

Martono, Lydia Harlina dan Satya Joewana. 2008. Peran Orang Tua dalam Mencegah dan Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba. Balai Pustaka. Jakarta.

Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2007. Sosiologi Jilid 1. Esis. Jakarta.

Maulana, D.J. 2009. Promosi Kesehatan. EGC. Jakarta.

Mintono. 2013. Implementasi Desain Sistem Manajemen Pembelajaran. Jurnal Pendidikan. Vol. 5. No 2

Moeis, Syarif. 2008. Prinsip-prinsip Program dan Metoda Pembelajajan Penyuluhan Masyarakat dalam Program PLS. Bahan Ajar. Jurusan Pendidikan Sejarah. FPIPS Universita Pendidikan Indonesia, Bandung.

Muatip, K., B.G. Sugihen, D. Susanto, dan P.S. Asngari. 2008. Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah, Kasus Peternak Sapi Perah Di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan. Vol. 4 (1): 21-28.

Nggili, Ricky Arnold. 2015. Belajar Any Where. Guepedia. Bekasi.

Ningsih, M.G. 2011. “Model Penyadaran Keluarga Petani Berbasis Gender dalam Upaya Meminimalkan Terjadinya Pekerja Anak di Kabupaten Malang”. Humanity. Vol 06. No 02: 98-105.

Nugroho, Sigit. 2008. Pengaruh Latihan Sirkuit (Circuit Training) terhadap Daya Tahan Aerobik (VO2 Max) Mahasiswa PKO Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal UNY.

Nursalam. 2008. Pendidikan Dalam Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.

Olivia, Femi. 2011. Teknik Ujian Efektif. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Padmowihardjo, S. 2006. Pendidikan Orang Dewasa. Universitas Terbuka. Jakarta.

Padmowihardjo, S. 2007. Penyuluhan Pendampingan Partisipatif. Jurnal Penyuluh. Vol 2 No 1: 63-65.

Pannen, P, & Malati, I. 2006. Pendidikan Orang Dewasa. Dalam PAU, Dirjen Dikti, Mengajar di Perguruan Tinggi – Program Applied Approach. Dirjen Dikti. Jakarta.

Poniman, Farid. 2011. Mengenali Mesin Kecerdasan Anda. Griya STIFI. Bekasi.

Prawira, Purwa. 2012. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif  Baru. AR-Ruzz Media. Jakarta.

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Grasindo. Jakarta.

Pulungan, Rumondang. 2007. “Pengaruh Metode Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Dokter Kecil dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah (PSN-DBD) di Kecamatan Helvetia”. Tesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Purwanto, Djoko. 2011. Komunikasi Bisnis. Erlangga. Jakarta.

Rachmi, Fillia. 2010. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku Belajar terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.

Ramadoan, Sri., Pudji Mulyono dan Ismail Pulungan. 2013. “Pesan PKSM dalam Meningkatkan Fungsi Kelompok Tani dan Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Bima, NTB”. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol 10. No 03.

Rangkuti, Freddy. 2007. Riset Pemasaran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Ridwan, Wawan. 2009.“Prinsip Pendidikan Orang Dewasa”.Medik. No 1: 36 – 38.

Riyani, Y. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mahasiswa (Studi pada mahasiswa Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Pontianak). Jurnal EKSOS. Vol. 8 (1): 19-25.

Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Salemba Empat. Jakarta.

Roberts, Albert R., dan Gilbert J. Greene. 2009. Buku Pintar Pekerja Sosial. BPK Gunung Mulia. Jakarta.

Rola, Fasti. 2006. Hubungan konsep diri dengan motivasi berprestasi pada remaja. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Roqib, Mohammad. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. LKIS. Yogyakarta.

Rosita. 2011. “Pemahaman Perilaku Dan Strategi Pembelajaran Bagi Orang Dewasa. Kegiatan Bimbingan Teknis Tenaga Pelatih Konservasi Dan Pemugaran. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Sajingan Besar Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat”. Jurnal PMIS. Universitas Tanjungpura. Pontianak.

Rumanti, Maria Assumpta. 2006. Dasar – Dasar Public Relations. Grasindo. Jakarta.

Saad, U. 2014. Motivasi Petani dalam Kegiatan Penyuluhan Pengelolaan Kebun Agroforesti: Pembelajaran dari Kabupaten Bantaeng dan Bulukumba, Sulawesi Selatan. ICRAF. Bogor.

Saifuddin. 2014. Pengelolaan Pembelajaran (Teoritis dan Praktis). Deepublish. Yogyakarta.

Santosa, S. 2012. Dinamika Kelompok. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Sapar, A. Jahi, P.S. Asngari, Amiruddin, dan I.G.P. Purnaga. 2012. Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Kompetensi Petani Kakao di Empat Wilayah Sulawesi Selatan. Jurnal Penyuluhan. Vol. 8 (1): 29-41.

Saputra, Lukman Surya. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan: Menmbuhkan Nasionalisme dan Patriotisme. Setia Purna Inves. Bandung.

Sardiman, A.M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Saridewi, T.R. dan A.N. Siregar. 2010. Hubungan Antara Peran Penyuluh Dan Adopsi Teknologi Oleh Petani Terhadap Peningkatan Produksi Padi Di Kabupaten Tasikmalaya. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 5(1): 55-61.

Saroya, A. 2014. Pengaruh Penerapan Ice Breaking Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran Sosiologi Di SMA Darussalam Ciputat. Skripsi. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Semiawan, Conny., Theodarus Immanuel Setiawan dan Yufiarti. 2005. Panorama Filsafat Ilmu, Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Teraju (Mizan Group). Jakarta.

Setiawan, Agus. 2010. Bacakilat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Setiawan, I. G. A.P. 2006. Masalah-Masalah Penyuluhan Pertanian. Jurnal Penyuluhan. Vol. 1 (2): 57-61.

Setiawan, Iwan. 2012. Agribisnis Kreatif: Pilar Wirausaha Masa Depan, Kekuatan Dunia baru Menuju Kemakmuran Hijau”. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siswanto, B. 2012. Manajemen Tenaga Kerja, Rancangan dalam Pendayagunaan dan Pengembangan Unsur Tenaga Kerja. Sinar Baru. Bandung.

Slamet, M. 2011. Paradigma Penyuluhan Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Makalah Pelatihan Penyuluhan Pertanian. Universitas Andalas.

Slamet, S. 2008. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara. Jakarta

Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Pustaka Setia. Bandung.

Sopiah, 2008. Perilaku Organisasi. Edisi Pertama. ANDI press. Yogyakarta

Suardi, Mohammad. 2015. Belajar & Pembelajaran. Deepublish. Yogyakarta.

Sudjana, S. HD. 2005. Strategi Kegiatan Belajar Mengajar dalam Pendidikan Luar Sekolah.Penerbit Falah Production. Bandung.

Sujarwo, 2010. “Strategi Pembelajaran Orang Dewasa (Pendekatan Andragogi). Jurnal Sosial.

Suparta, Nyoman. 2006. “Penyuluhan Sistem Agribisnis, Suatu Pendekatan Sistem Agribisnis Suatu Pendekatan Holistik”. Jurnal Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

Suprapto, A. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta

Suprapto, Tommy. 2009. Pengantar Teori & Manajemen Komunikasi. Media Pressindo. Jakarta.

Suprayogi, Ugi. 2006. Pendidikan Usia Lanjut. STKS. Bandung.

Suprianto. 2008. Pendidikan Orang Dewasa, dari Teori Hingga Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Belajar. Yogyakarta.

Surya, Hendra. 2009. Menjadi Manusia Pembelajar. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Surya, Hendra. 2010. Rahasia Membuat Anak Cerdas dan Manusia Unggul. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Suryadibrata, S. 2009. Psikologi Pendidikan. Rajawali Press. Jakarta.

Sutisna, 2009 .Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran. Rosdakarya. Bandung.

Syamsi, Ibnu. 2010. “Pokok-Pokok Organisasi & Manajemen”. Reneka Cipta. Jakarta.

Syamsu, S. Yusril, M. Suwarto, Fx. 1991. Dinamika Kelompok dan Kepemimpinan. Penerbitan Universitas Atma Jaya. Yogyakarta

Tahar. I, dan Enceng, 2006. Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar pada Pendidikan Jarak Jauh.  Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 7. No. 2.

Thoyib. 2006. Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi, dan Kinerja: Pendekatan Konsep. Jurnal. Staf Pengajar Fakultas UNHAS.

Tika, Moh. Pabundu. 2010. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Cetakan ke-3 . Bumi Aksara. Jakarta.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian I. Imperial Bhakti Utama. Jakarta.

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif - Progresif. Kencana. Jakarta.

Tukiran, T. 2011. Model - Model Pembelajaran Inovatif. Alfabeta. Bandung.

Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyalami Fenomena Sosial di Masyarakat. Setia Purna Inves. Bandung.

Wasty, Soemanto. 2006. Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan (Cetakan Ke 5). Rineka Cipta. Jakarta.

Winarno, B. 2012. Pengaruh Lingkungan Belajar dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Siswa Kompetensi Keahlian Teknik Otomasi Industri Di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Depok Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Negri Yogyakarta. Yogyakarta.

Yasin, HS. 2012. Metode Belajar dan Pembelajaran yang Efektif. Jurnal Adabiyah, Vol. XII No. I: 1421-6

Yoga, Hendrik Hexa. 2015. “Efektifitas Penyuluhan Metode Sekolah Lapang Terhadap Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Anggrek Tanah (Terestrial) di Kota Tangerang Selatan”. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Yulida, R., Kausar, dan L. Marjelina. 2012. Dampak Kegiatan Penyuluhan Terhadap Perubahan Perilaku Petani Sayuran Di Kota Pekanbaru. Indonesian Journal of Agricultural Economics. Vol. 3 (1): 37-58.

Yunasaf, U. dan D.S. Tasripin. 2011. Peran Penyuluh dalam Proses Pembelajaran Peternak Sapi Perah di KSU Tandangsari Sumedang. Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 11 (2): 98-103.

Yusuf, Q. N. 2009. The 7 Awareness 7 kesadaran Hati dan Jiwa Menuju Manusia diatas Rata-rata. Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Penyuluhan"