Jagat media sosial akhir-akhir ini selalu dipenuhi
obrolan mengenai agama dan politik. Terakhir yang paling menyedot perhatian
tentu tulisan dari Afi Nihaya Faradisa mengenai identitas agama yang didapatkan
oleh seseorang. Namun penulis tidak tertarik membahas hal tersebut karena sudah
banyak yang mengulasnya, baik dari sisi pro maupun kontra. Penulis lebih
tertarik membahas mengenai opini seseorang yang sering membandingkan antara
kondisi Islam di Indonesia dengan di Timur Tengah. Opini yang sering berkembang
yakni Islam di Indonesia lebih baik daripada Islam di Timur Tengah.
Opini tersebut berkembang di masyarakat karena
melihat kondisi di Timur Tengah yang tengah dilanda peperangan. Alhamdulilah
nasib baik di Indonesia kondisi masih aman terkendali, serta kondisi umat islam
masih tergolong solid meskipun sempat diterpa berbagai isu sensitif. Kondisi
yang demikian patut kita syukuri, akan tetapi tak perlulah kita terus-terusan
membandingkan dengan kondisi di Timur Tengah
Sejatinya, kondisi umat muslim di Negara Timur
Tengah macam Suriah, Mesir, Libya dan lainnya itu serupa dengan kondisi di
Indonesia. Kondisi umat Islam cukup solid, hanya yang membedakan adalah disana
pemimpinnya sangat keras terhadap kepentingan asing dan didukung oleh
rakyatnya. Percayalah bahwa saat ini mayoritas negara di dunia tidak
menginginkan peperangan, bukan karena alasan perdamaian, akan tetapi
dikarenakan perang memerlukan biaya yang besar. Nasib baik jika dapat menang
peperangan, namun apabila kalah, tak ada satupun yang didapat padahal sudah
mengeluarkan modal yang sangat besar pula. Oleh karena itu saat ini yang
terjadi adalah perang hemat biaya, yaitu perang pemikiran yang sangat halus
namun sangat licik.
Berbagai cara halus sudah dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu untuk menguasai aset vital di berbagai negara Timur Tengah, tanpa
perlu dijelaskan para pembaca pasti sudah mengetahui pihak-pihak mana yang
dimaksud. Akan tetapi masyarakat dan pemerintahnya masih solid sehingga
terpaksalah dipilih opsi terakhir yaitu dengan menyerang negara tersebut atau
dengan kata lain melakukan agresi atau invasi. Tentu saja tidak dapat tiba-tiba
melakukan serangan, akhirnya dibentuklah opini untuk mendukung upaya perang
tersebut.
Para pembaca tentunya masih ingat Saddam Husein yang
dituduh memiliki senjata pemusnah masal, namun hingga sekarang tak ada
buktinya. Kita juga masih ingat Moamar Khadafi dan Husni Mubarak yang dituduh
otoriter di Libya dan Mesir sehingga perlu dilengserkan, nyatanya di kedua
negara tersebut sebelum terjadi peperangan adalah negeri yang makmur. Terakhir
yang hingga saat ini masih dapat kita saksikan yaitu konflik di Suriah,
tentunya Bashar Al Ashad dituduh sebagai tokoh yang otoriter, namun karena
tidak terlalu direspon oleh dunia sehinggaa dibuatlah boneka bernama ISIS untuk
melegalkan serangan mereka terhadap Suriah. Setelah mereka mendapatkan alasan
legal untuk melakukan serangan, tentunya mereka dapat dengan leluasa melakukan
agresi militer, baik secara langsung maupun melalui kaki tangan mereka.
Hal lain yang perlu kita ingat adalah Negara Timur
Tengah yang saat ini sedang berperang tersebut sebelumnya merupakan negara yang
makmur. Sumber daya alam khususnya dari sektor minyak melimpah, negara
memberikan subsidi kepada warganya baik berupa subsidi pendidikan, kesehatan
dan sebagainya. Angka kriminalitas tergolong rendah, bahkan Suriah termasuk
negara dengan angka kriminalitas terendah terendah. Logika sederhana saja,
rakyat mana yang hendak memberontak dengan segala fasilitas yang telah
diberikan oleh pemerintah tersebut. Apabila tidak denan diplomasi adu domba
yang sangat licik, tentunya jalan terakhir adalah melakukan agresi dengan
alasan yang dibuat-buat.
Saat ini banyak yang membusungkan dada karena
kondisi di Indonesia tidak terjadi peperangan macam di Timur Tengah. Kita patut
mengucapkan syukur alhamdulilah karena tidak terjadi peperangan, namun tak
perlulah kita terus membandingkan dan cenderung menjelek-jelekan negara Timur
Tengah. Sesungguhnya jika kita mau berpikir lebih jauh mengapa negara adikuasa
tersebut tidak mengagresi Indonesia, hal itu dikarenakan tanpa agresi pun
sebagian besar sendi ekonomi Indonesia sudah dikuasai oleh asing, jadi untuk
apa asing menyerang pundi-pundi uang mereka? Cukup menggunakan diplomasi licik
sehingga kondisinya macam sekarang, sendi-sendi ekonomi kita sudah dikuasai
oleh asing. Pribumi hanya dapat memandang dan berperan sebagai konsumen.
Sebagai
konklusi dari tulisan ini, penulis menggambarkan lagi secara ringkas maksud
tulisan ini. Intinya adalah kita tak perlu terlalu membanggakan diri karena
kondisi di Indonesia tidak terjadi peperangan macam di Timur Tengah. Negara teluk
berperang bukan karena persatuan Islam mereka lemah, akan tetapi karena
berbagai diplomasi licik yang dilancarkan tidak memberikan pengaruh sehingga
jalan terakhir yaitu melalui invasi militer. Indonesia tidak sampai fase ini
karena sebagian besar sendi ekonomi kita sudah dikuasai asing sehingga tidak
mungkin negara-negara adikuasa akan menyerang Indonesia secara membabi buta
karena sama saja mereka menghancurkan pundi-pundi uangnya.
Opini dari: Rio Adhitya Cesart
1 Komentar untuk "Antara Kita dan Timur Tengah"
Lebih gajam dikit lagi Bang. Biar lebih jelas. Siapa dn bagaimana strategi penyeranagan licik, ekonomi, pemikiran, soaial, yg dihadapkn pd NKRI. Thanks.