Rio Adhitya Cesart

Kita Berbagi Masalah Kita Berbagi Solusi

Media dibawah Cengkraman Elit Parpol

     Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia tinggal hitungan hari. Indonesia akan memiliki Presiden ketujuh dalam sejarah Indonesia. Masing-masing timses capres cawapres sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari agar calon yang diusung bisa memenangi Pilpres kali ini. Seperti Pemilu biasanya, Pilpres kali ini selalu diwarnai dengan perang urat saraf dari masing-masing calon. Aneka politik kotor mulai bertebaran di masyarakat dan dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi seperti politik uang, black campaign atau kampanye hitam dan masih banyak lagi. Menurut Yusri (2012) Kampanye negatif dan kampanye hitam dalam rangka memenangkan pemilihan umum sudah biasa terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia. Kampanye negatif dan kampanye hitam yang berupa isu tentang kejelekan dan kekurangan masing-masing pasangan calon terjadi menjelang pelaksanaan PSU dan dimuat diberbagai media lokal sehingga menjadi informasi yang sedikit banyak akan mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya. Sedangkan menurut Anugerah (2013) Black campaign dianggap sebagai salah satu strategi yang jitu untuk menjatuhkan pihak  lawan, serta tidak membutuhkan dana yang besar sehingga black campaign sangat mudah untuk dilakukan. Orientasi semata-mata hanya untuk kekuasaan, sehingga berbagai cara dilakukan agar tujuannya yaitu terpilih dalam pemilu tercapai. 

     Akan tetapi pada Pilpres kali ini politik kotor itu semakin parah. Kampanye hitam semakin menjadi dengan tuduhan yang sudah kelewat batas. Saat ini media memiliki peran penting dalam masyarakat untuk mencerdaskan calon pemilih. Media harus memberikan fakta kedua belah calon presiden dan wakilnya pada masyarakat secara proporsional dan berimbang sehingga masyarakat memiliki gambaran yang jelas dan nyata siapa calon yang baik untuk memimpin Indonesia lima tahun yang akan datang. Akan tetapi pada kenyataannya sikap media massa yang seharusnya netral, kini menjadi terbelah dan memihak salah satu calon.
     Kebanyakan media saat ini sudah dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kuasa di partai politik. Aburizal Bakrie menguasai Viva Group (antv & tv0ne), Surya Paloh menguasai Metro Tv, Harry Tanoesoedibjo menguasai MNC Group (RCTI, MNCTV dan Global tv). Semua orang sudah mengetahui bahwa Aburizal Bakrie adalah orang penting di Golkar, Surya Paloh adalah pendiri Nasdem dan Harry Tanoe adalah politikus yang semua dibawah naungan Nasdem namun beralih ke Hanura. Pembodohan yang dilakukan oleh pemilik media sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum Pilpres berlangsung. Aburizal Bakrie yang sejak lama menjadi politikus Golkar dan sudah lama juga menguasai antv (disusul tv0ne) selalu menutup-nutupi kasus yang berkaitan dengan dirinya dan Golkar. Kasus korban lumpur Lapindo yang masih terkatung-katung justru digambarkan oleh antv & tv0ne kondisi korban Lapindo sudah mendapat haknya secara layak. Hal serupa berlaku saat PSSI digoncang kasus korupsi Nurdin Halid yang merupakan politikus dari Golkar. Media milik ARB tidak mau memberitakan secara lugas terhadap kasus itu. Masih banyak kasus yang terkait dengan ARB dan Golkar yang ditutupi oleh anak usaha Bakrie tersebut.
     Surya Paloh selaku pendiri Nasdem dan pemilik Metro Tv selalu menayangkan secara intens perkembangan Nasdem. Nasdem sendiri merupakan pendatang baru dalam Pileg 2014 sehingga Paloh berusaha membangun citra baik Nasdem. Awal bermula berdirinya Nasdem, Paloh mendapat bantuan dari media milik Harry Tanoesoedibjo karena Harry Tanoe merupakan kader Nasdem. Hubungan keduanya sangat akrab hingga presenter berita RCTI ada yang menjadi kader Nasdem dan beberapa presenter RCTI hijrah ke Metro TV. Akan tetapi ditengah perjalanan Paloh dan Tanoe pecah kongsi dan Tanoe lebih memilih merapat ke Hanura dan media milik Tanoe mulai intens mengorbitkan Hanura.
     Media milik politikus tersebut saat Pileg sudah sering mendapat teguran keras dari berbagai pihak karena memanfaatkan saluran milik publik untuk kampanye terselubung. Setiap stasiun TV tersebut menggambarkan partainya paling baik. Seakan tidak mau belajar dari pengalaman, media milik politikus kembali melakukan hal serupa seperti saat Pileg. Capres Cawapres yang hanya dua pasang dan arah koalisi yang sudah jelas menyebabkan media tersebut terpecah. Viva Group dan MNCGroup beserta media cetak dibawahnya memihak ke Prabowo-Hatta dan Metro Tv beserta media cetak milik Paloh memihak ke Jokowi-JK. Pembodohan media tersebut terus berlanjut hingga saat ini. Media penyokong Prabowo selalu menggambarkan Prabowo Hatta adalah tokoh baik, segala tindakannya juga baik, tidak ada kekurangan dari Prabowo Hatta dan menganggap rivalnya sebagai calon yang banyak cacatnya sehingga saat lawannya melakukan satu kesalahan langsung diekspose habis-habisan, capres lain diserang dengan berbagai fitnah. Hal serupa juga berlaku sebaliknya bagi media pengusung Jokowi-JK.
     Seharusnya media dengan berbagai produk jurnlistiknya mampu bersikap netral dan kritis terhadap kondisi yang ada, seperti pada Pilpres kali ini. Masyarakat hanya mengetahui sisi luar dari Capres Cawapres saja sehingga disini peran Media Massa untuk mengupas tuntas baik buruknya dari masing-masing calon dengan proporsi yang berimbang dan berdasarkan fakta sehingga masyarakat bisa menilai  siapa yang berhak memimpin Indonesia. Itulah yang membedakan antara program berita dan progam gosip yakni berita harus dikaji dulu fakta-fakta pendukungnya, berbeda dengan produk gosip yang seringkali hanya mengandalkan opini. Akan tetapi saat ini media yang seharusnya menjadi pencerah masyarakat justru membuat calon pemilih menjadi bingung. Media ini mengatakan calon A adalah orang baik, namun di media yang lain calon A justru digambarkan sebagai calon yang buruk. Media yang harusnya bersikap bebas aktif justru memihak ke salah satu pihak sehingga tidak bebas lagi dalam mencari berita. Media yang harusnya objektif menjadi subjektif karena dituntut menciptakan citra yang baik terhadap calon yang diusungnya dan membuat kesan buruk terhadap calon lawan.
     Inilah potret buram Insan pers beserta produk jurnalistiknya yang sudah dikuasai orang politik sehingga penulis berharap ke depan media massa milik seluruh masyarakat Indonesia bisa bersih dari orang-orang politik dan praktik politik praktis. Kondisi media yang memihak ini juga menuntut masyarakat untuk berpikir cerdas dalam menyikapi pemberitaan yang ada, terutama dari media milik politikus. Carilah rekam jejak masing-masing calon dari dulu hingga saat ini. Jangan mudah percaya dan terpengaruh dengan isu-isu miring yang menyerang salah satu calon. Point yang paling utama adalah masyarakat menghargai perbedaan jika ada yang berbeda pendapat.

Kembalilah Produk Jurnalistik yang bersih, jujur, kredibel, objektif, aktual dan tidak memihak pada salah satu pihak !!!!
Itulah doaku untuk Insan Pers Indonesia

Beberapa Kutipan bersumber dari:
Anuerah, Sony Kusuma. 2013. "Representasi Black Campaign Dalam Spanduk Kampanye Pilkada Jakarta  2012". Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Yusri, Ali dan Adlin. 2012. Pengaruh Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam Terhadap Pilihan Pemilih pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru Tahun 2011Jurnal Ilmu Pemerintahan Nakhoda. Vol 11, No 17:  1.
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Media dibawah Cengkraman Elit Parpol"